Kamis, 19 Februari 2009

tentang idealisme wartawan

Tulisan di bawah ini sudah dimuat di Surabaya Post Sabtu kemarin.

Rezeki yang halal akan terus memburu dan menemukanmu

“Bila seseorang datang pada saya menyodorkan uang Rp 935.750.200, yang katanya uang ’amplop’ yang pernah saya tolak, lalu diinvestasikan ke usahanya, kemudian berkembang, dan dinyatakan sebagai hak saya, apa yang harus saya lakukan?” tanya seorang wartawan, berkonsultasi pada saya.

Sungguh pertanyaan yang tidak mudah, dan kasus yang tidak lazim. Saya kemudian mewawancarainya beberapa kali (lewat email). Pertanyaan saya antara lain: “Apakah ketika membuat beritanya dulu, Anda obyektif, jujur, tanpa tendensi apapun? Atau, apakah Anda menulis berdasarkan 'pesanan' dengan harapan akan imbalan, namun kemudian segan dan memutuskan menolak amplopnya?”

Inilah jawaban wartawan sang wartawan:

Sekitar 25 tahun yang lalu, saya reporter lapangan, setiap hari melewati sebuah sungai kotor di Jakarta Barat. Setiap hari saya melihat seorang pemulung memungut sampah-sampah plastik, kardus, dan botol. Saya terusik untuk mencari tahu, itu sampah mau diapakannya. Suatu waktu saya mampir ke gubuknya, dan saya takjub. Semua sampah itu diolahnya dengan mesin buatannya sendiri. Sampah plastik dijadikan biji plastik, kardus dijadikan bubur kertas, dan botol dilumatkan jadi serbuk kaca.
Pemulung ini bercerita, ide itu ia dapatkan ketika menonton TVRI. Hasil produksinya diterima sebuah pabrik di Pulogadung. Sebagai reporter, saya tertarik lalu mewawancarainya, mengikutinya mulai dari memulung sampah, mengolahnya, sampai pengiriman ke Pulogadung. Pemulung ini bercita-cita, tabungan dari hasil jualan produksinya, akan dibelikannya mesin yang lebih ’benar’ dan menyewa gudang untuk pabrik ’beneran’. Nah, saya kemudian menulis kisahnya yang hidup dari sampah.

Rupanya, seorang direktur Bapindo membaca reportase itu. Saya dihubungi sekretarisnya, dimintai alamat si pemulung, karena Bapindo akan membantu dengan KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen). Enam bulan kemudian, si pemulung, masih dengan tampilan yang sederhana, mengunjungi saya di kantor. Ia mengucapkan terima kasih ada bank yang membantu mewujudkan mimpinya. Lalu ia menyerahkan sebuah amplop tebal. Katanya, itu ungkapan terima kasih atas bantuan saya. Saya menolaknya. Saya bilang padanya: ”Pak, saya menulis tentang bapak karena saya merasa terusik melihat bapak setiap pagi ngacak-ngacak sungai. Saya nggak minta bayaran. Kalau bapak dibantu bank, Alhamdulillah, berarti bapak dapat kesempatan untuk maju. Maaf pak, saya tidak mau terima.”

Dia menatap saya sambil menangis. Lalu katanya, ”Pak, saya akan simpan uang ini, dan saya jadikan modal ikutan dalam perusahaan saya. Teserah bapak mau terima atau tidak, nama bapak ada dalam daftar pemegang saham perusahaan saya. Saya tahu bapak ikhlas menolong saya, tapi saya tidak mau melupakan jasa bapak. Kalau bapak tidak membuat berita tentang saya, mungkin saya masih ada di sungai itu saban pagi.” Ia menyalami saya, dan pergi. Saya tidak tahu berapa isi amplop itu.

Lalu semuanya berlalu, tahun berjalan, saya sudah lupa. Beberapa bulan lalu, pagi-pagi, saya ditelepon seorang laki-laki: ”Masih ingat saya, pak?” Lalu ia terus bicara dan sampailah pada inti pembicaraan pagi itu, ”Pak, uang bapak masih saya simpan.” Dan ia pun menjelaskan bagaimana uang itu ”bekerja” di perusahaannya. Sekarang jumlahnya hampir Rp 1 M. Nah, apakah saya boleh menerima uang itu?

Sungguh unik persoalan ini. Setelah berinteraksi, akhirnya saya tahu saya dan wartawan bersangkutan pernah bekerja di institusi yang sama, yaitu RCTI, kami seusia, dan saya sangat mengenalnya. Namun tulisan itu dibuatnya sebelum dia bekerja di RCTI. Kisah ini nyata dan bukan karangan.

Setelah mempelajari kasusnya, mengecek berbagai definisi ’amplop’ di berbagai kode etik, dan merenung berdasarkan nalar dan hati nurani, saya memutuskan: ”Uang tu hak Anda, terimalah.” Eh, bukannya bergembira, wartawan itu tidak berani menerimanya. Alasannya, dia tak mau menjilat ludahnya sendiri (dulu menolak kok sekarang menerima), dan Ustadznya mengatakan itu uang haram.

Saya kira, keputusan akhir memang di tangan dia. Apakah dia merasa nyaman menerima atau tidak menerimanya, sepenuhnya hak dia. Namun saya ingin menjelaskan mengapa uang yang hampir Rp 1 M itu saya anggap sebagai haknya? Uang itu lolos dari semua rambu kode etik tentang amplop wartawan: wartawan menulis tanpa tendensi, bukan suap, bukan sogokan, dan tidak mempengaruhi liputan. Paling banter, ini bisa disebut uang gratifikasi, dan gratifikasi tidak dilarang –setidaknya belum diatur- dalam kode etik jurnalistik.
Lebih dari itu, ini kasus yang diawali 25 tahun yang lalu. Hati nurani dan akal budi saya mengatakan, seseorang tak dapat lari dari rezekinya. Sang wartawan telah menghindari rezekinya 25 tahun yang lalu, namun rezeki itu masih menjadi haknya, dan memburunya hingga sekarang. Seseorang yang berniat baik (wartawan) bertemu dengan seorang lain yang sama baiknya (pemulung yang menjadi pengusaha). Berapa banyak pengusaha besar yang ingat jasa wartawan 25 tahun lalu, kemudian memberikan haknya sesuai janjinya (menjadikan ’amplop’ sebagai saham)? Allah menjanjikan, orang baik akan dipertemukan dengan orang baik, dan rezeki yang halal tak dapat dihindari.

Itulah sekelumit kisah tentang amplop wartawan. Sementara itu, dunia pers Indonesia saat ini sedang diguncang oleh skandal harian Sinar Indonesia Baru di Medan. Koran ini ditengarai memprovokasi massa selama tiga tahun belakangan ini dalam hal Propinsi Tapanuli. Dalam kasus tewasnya Ketua DPRD Sumut, awak redaksinya termasuk tersangka karena menerima uang jutaan rupiah dari dalang Protap, dan turut menyebarkannya pada pendemo.

Ini tentu masih perlu dibuktikan kebenarannya. Namun itulah dunia pers, ada yang betul-betul membela rakyat, ada yang membela kepentingan golongan tertentu; ada yang menolak amplop, ada yang menerima amplop. Semoga kita semua belajar dari kisah akhir pekan ini.


Sirikit Syah, Februari 2009 (disadur dari milis barudakbiru@yahoogroups.com)

Rabu, 18 Februari 2009

Escape From Huangshi

George Hogg adalah seorang lulusan terbaik Oxford, Inggris. setelah menjadi sarjana, ia berkelana menjadi seorang reporter. salah satu negeri persinggahannya adalah Cina. suatu ketika pada tahun 1937, Jepang hendak menginvasi Nanjing. pergilah ia kesana untuk menolong korban yang terluka akibat invasi. meski dengan sedikit kecurangan dengan menggunakan izin temannya yang hendak bertugas mengantar obat-obatan ke Nanjing. 
bersama dengan seorang kawan yang juga reporter, pergilah ia ke Nanjing yang tengah dilanda perang. di sana, ia melihat betapa kejam pasukan Jepang membunuh rakyat sipil Cina. dalam salah satu scenenya, ratusan penduduk dikumpulkan di tanah lapang kemudian ditembak mati.George yang mengambil foto kejadian-kejadian tersebut pun tertangkap pasukan Jepang. beruntung, ia berhasil diselamatkan oleh seorang gerilyawan komunis, Jack Chan saat hendak dihukum pancung. mulai saat itu, Goerge berjanji akan berusaha sebisa mungkin menolong orang-orang cina. 
Jack pun merekomendasikan sebuah tempat terpencil, Huangshi, yang disana terdapat satu sekolah dihuni oleh lebih dari 60 orang siswa. mereka kelaparan. satu-satunya yang mereka pelajari adalah bagaimana bertahan hidup. maka, datanglah George ke Huangshi dengan disambut sindiran dan pukulan. 

George tidak menyerah. ia terus berusaha menolong anak-anak yang trauma karena perang itu. mereka adalah yatim dari ayah yang dipancung, piatu dari ibu yang diperkosa lalu dipancung, adik dari kakak yang dibunuh. singkat kata, mereka adalah pengungsi cina yang berharap bisa sekadar hidup sementara.

kedatangan Goerge memberikan warna baru dalam hidup mereka. mereka belajar bahasa inggris, bertani sayuran, menanam bunga dan bermain basket. hidup baru telah dimulai.sayang, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. mereka harus pergi dari Huang Shi karena pasukan KuoMinTang,gerilyawan Cina beraliran nasionalis hendak menjadikan anak-anak itu tentara untuk berperang melawan Jepang dan orang komunis. 

Di tengah musim dingin yang pekat, mereka pun berjalan dengan tujuan Shandan. sebuah daerah di ujung jalan sutera, perbatasan Mongolia yang jauh dari perang. jaraknya..1000 km. mampukah mereka melalui rute ganas itu dan membangun kembali hidup baru? Film ini inspiratif, sayang kalo gak nonton

Jumat, 06 Februari 2009

biar hasrat bicara

satu hal yang rajin ku ulang-ulang (affirmasi) setelah membaca buku mas yasraf amir piliang, Tuhan-Tuhan Digital. aku bangun, tersentak. manusia postmo.

baiklah, mari mulai dengan definisi.  postmodern adalah suatu paham yang memandang tidak dibutuhkannya lagi garis demarkasi atas dalih apapun, entah itu moral, hukum atau agama. biarlah hasrat (passion) yang mengatur menjelma menjadi Tuhan. Setelahnya, akan ada konsekuensi-konsekuensi yang harus ditanggung. salah satu diantaranya adalah hiperrealitas. kata dia,"ketika hasrat manusia sudah terlampau jauh, segala teknologi sudah tercapai, maka tidak ada lagi impian karena semua impian sudah terjadi." hakikat sudah menjadi bias saru dengan tanda. tanda berkerumun berjuta-juta menyerang hakikat.hakikat pasrah, dia kalah. para pemirsa pun kini hanya bisa melihat tanda, cuma itu, tidak lebih!lihatlah remote kontrol yang saban pagi sampai malam di pijit berganti dari channel satu ke channel lain yang jumlahnya sudah ratusan bahkan ribuan. mereka terjebak dengan arus tanda yang kuatnya sudah mencapai miliaran volt. mau tidak mau, tanda harus diproduksi untuk melanggengkan keuntungan. massif dan sering, sampai tidak ada lagi yang bisa diproduksi. semua atas nama satu nama, keuntungan. 

Lalu, dimana gerangan manusia postmo? dia adalah resi yang pasrah tapi tahu apa itu hakikat. cuma dia acuh dan membiarkannya kacau karena dengannya, akan muncul hukum baru terus dan terus laksana kulit bawang yang berlapis. asal itu "atas nama hasrat." kalau boleh bercerita, aku pernah melihat aksi mereka di atas panggung nyata. ketika itu, di sebuah sidang musyawarah besar mahasiswa, setelah pemilihan raya dijalankan, muncul wacana agar diadakan pemira ulang. sebabnya, calon tunggal. karena berlarut-larut dan pemira ulang tidak kunjung diadakan lalu diadakanlah suatu sidang istimewa atas kesepakatan beberapa pihak. nah, dalam sidang inilah wacana berkembang dari pengadaan pemilu ulang menjadi pembubaran BEM Fakultas. wah, aksi teatrikal yang sangat seksi. beberapa peserta mengangguk karena retorika. aturan sidang ditabrak,bahkan lucunya, AD/ART pun dienyahkan. dia cuma berkata "jangan anggap ADART ini seperti alquran yang harus dipatuhi" dan sidang pun patuh. BEM dibubarkan. 
begitulah kawan, aksi teatrikal manusia postmo yang bereksploitasi dengan hasrat. maka, berhati-hatilah. 


atas nama laba

kawan, aku ingin berkisah. Pagi tadi aku menghadiri sebuah acara talkshow di festival ekonomi syariah. judulnya, "lupa",tapi kontennya tentang konsep hunian untuk membangun masyarakat muslim. aku tertarik - "Gini-gini juga pernah ngurus propertinya kontan bos"- dan mulai mencatat. batinku berangguk dengan gerak tangan. kira-kira ia berkata.."oh, tentang apartemen","ooh,apartemennya ada pengajiannya","ooh tata bangunan ranjangnya ditata agar sang petidur bisa menghadap ke kanan", dan oooh,oh lain seperti menghadap kiblat, konsep sandal nabi orientasi wc ke utara-selatan (menghindari barat-timur untuk menghormati kiblat).

kreatif..tukasku sembari menulis beberapa list ihwal untuk kutanyakan nanti dalam termin Q and A. tapi hal buruk terjadi. dahiku mulai mengernyit setelah distimulus oleh gambar apartemen almedina dengan dua tower yang menjulang tinggi di kawasan selatan Jakarta. "mewah" ujarku singkat. tapi yang membuat dadaku bergidik adalah ketika mereka mulai membacakan ayat-ayat justifikasi. seperti anjuran untuk berjamaah, membangun komunitas muslim dan sebagainya.

 disinilah dialektika dimulai. aku protes. "sial".  hampir teriak  tapi aku tahan. rangsangan itu rupanya semakin menjadi "tahukah bapak2 ibu2?mansion2 mewah yang bertebaran itu 50%nya adalah orang-orang muslim, jadi muslim juga bisa tinggal di lingkungan berkelas". aku semakin menggarukkan kepala. pertanyaan2 itu muncul bertubi-tubi menghujam ke kepala. "Bapak atau biasa dipanggil ustad, baik benar anda menjual apartemen mewah untuk muslim kaya. anda rupanya hendak mengumpulkan para eksekutif muslim untuk tinggal di dalam satu apartemen sehingga kesalehannya terjaga. Memang, kesalehan mereka terjaga,nyaman,aman. tapi tahukah anda, itulah yang akan membunuh mereka sebagai sesama. membuat kaki mereka jauh dari orang lapar,cacat dan para mustahiq karena asik tenggelam dan tertidur dalam komunitas mereka. konsep seperti ini tak ubahnya seperti tabiat para investor yang enggan mengotori tangannya di dalam lumpur riil. mereka hanya mau berbersih-bersih didalam moneter, berinvestasi di derivatif, reksadana, saham atau bagi para penyali rendah menghimpun uang pada kencleng DPK. Tak peduli, mati."
tambahan : aku rasa, hari itu Alquran sedang menangis karena ayat-ayatnya sedang dipermainkan untuk berjualan. kemuliaannya dihinakan oleh orang2 berjanggut,orang2 bersorban. "Ayolah kawan, tidakkah bangunan terlalu tinggi itu akan mengurungmu dalam penjara sehingga tanganmu sulit terulur?" belum lagi mereka selesai berjualan, aku pergi lunglai, kecewa, rupa-rupanya ada ayat yang dibacakan atas nama laba. 

 

Rabu, 04 Februari 2009

fatwa



sekumpulan manusia berjubah putih,berjanggut dan sudah cukup uzur bersidang untuk menjawab tentang dua  pertanyaan yang menurut mereka, sedang mengemuka dalam masyarakat..tentang golput dan tentang rokok.

tidak kurang dua hari semalam mereka bersengketa, menentukan pendapat untuk diimani, diikuti oleh kaumnya. pada akhirnya, perbedaan itu bermuara pada satu jawaban. haram mutlak dan haram dengan syarat. golput dikategorikan sebagai suatu tindakan yang haram mutlak. laki-laki,perempuan muslim yang sudah mencapai usia ikut pemilu, maka dilarang keras untuk ikut golput. sedangkan lainnya, haram dengan syarat. bagi anak2,perempuan hamil dan perokok di tempat umum maka rokok diketegorikan haram. lain dengan kaum yang ada diluarnya, seperti laki2 sehat yang hendak merokok di ruang privat, maka dia hanya akan mendapatkan hukum makruh yang hampir2 saja haram. 

pelbagai suara menyeruak. kaum politisi golput tidak setuju dengan keputusan MUI itu..mereka diam. yang berteriak malah para industriawan rokok yang khawatir produksi mereka akan seret karena respons pasar atas fatwa MUI itu. 

aku berandai apa kata para rahib postmo jika mereka disodori tentang masalah fatwa yang membuat suatu garis demarkasi demi kepentingan masyarakat. Mereka tentunya akan membuat fatwa lain yang akan memerahkan telinga para orang berilmu itu. untuk yang mengikuti keputusan para ulama, maka hukumnya adalah haram. karena kebenaran adalah sebuah pelanggaran. 

Cuma, rahib postmo tak perlu bertitah untuk mendakwa keteraturan. cukuplah mereka diam dan melihat ke akar rumput yang sudah terlebih dahulu mengusung sikap membatu, acuh dengan menutup erat kedua tangan mereka terhadap aturan-aturan itu.
Mereka sudah cukup nyaman untuk merokok, untuk menjadi golput. mereka tidak melihat ada alasan kuat untuk mengikuti titah kaum berjubah. karena mereka toh penuh dengan kotoran. begitulah kawan, ketika laku sudah tak sesuai dengan kata. taruhannya nyawa.

manusia antara

Syahdan, beberapa masa setelah hijriah, kumandang perang 

bertiup di barisan kaum muslimin untuk berjihad dalam 

perang tabuk. Rasa-rasanya, tak ada yang tak ikut. tua, 

muda, semua sahabat rasul berlomba mengambil shaf 

terdepan. Cuma, kali ini ada yang aneh. diantara pasukan 

muslimin, tak tampak wajah seorang sahabat senior, Kaab 

bin Malik muncul hingga berakhirnya perang. 
semua bertanya. kemana kau Kaab? bersama dengan beberapa 

sahabat yang absen lainnya, ia menghadap rasulullah. 

kira-kira, ia berkata,"ya rasulullah, seandainya bukan 

kau yang kuhadapi, sungguh aku akan berdalih karena aku 

diberikan kemampuan untuk itu. namun aku tak kuasa. aku 

mengakui ketidakhadiranku untuk berperang disisimu tidak 

ada sesuatu uzur apapun selain menunda-nunda."
Kejujuran Kaab mendapat ujian. sahabat yang ahli berdebat 

ini diasingkan dari pergaulan kaum muslim. tak ada yang 

mau berbicara dengannya bahkan sekadar isterinya. sampai

-sampai ia berkata,"dunia seakan sempit menghimpit."
namun singkat kata, pada akhirnya Kaab dimaafkan. ia 

terbebas dari keterasingan. 

Bagaimana dengan orang-orang selain kaab yang tak hadir 

dalam peperangan?dalih mereka meyakinkan orang-orang 

bahwa karena uzur mereka tidak berperang. mereka 

termaafkan tanpa hukuman. 
Mereka dijuluki manusia antara, tidak mu'min dan enggan 

mengatakan bahwa mereka adalah kafir. Dahulu sifat ini 

mulai menjangkit tatkala kaum muslimin hijrah ke Madinah. 

terdapat fenomena dimana orang-orang yahudi menjadi 

muallaf demi tujuan mendengar strategi kaum mukmin. cuma 

setelah kembali kepada kaumnya, mereka kembali menjadi 

Yahudi.

kalau mau jujur, sifat antara' yang dalam bahasa kuran 

disebut munafik ini sungguh sering kita temui di sekitar, 

dalam berbagai tingkatan.
sederhana saja, lihatlah seorang Ketua DPRD SUMUT yang 

baru saja tewas di keroyok massa di Medan sana. Almarhum 

Abdul Aziz Langkat tewas dikeroyok tatkala memimpin 

sidang paripurna. 
ketika itu,massa atas nama demokrasi beranjak masuk ke 

dalam gedung untuk memaksakan adanya pemekaran di wilayah 

mereka. bagi mereka, prinsip demokrasi nomor satu adalah 

suara terbanyak. Logika sederhananya adalah bukankah 

suara rakyat Tapanuli yang banyak itu sudah mewakili 

prinsip tersebut? Lucunya, para pengusung prinsip 

tersebut lupa bahwa dalam demokrasi, ada pula prinsip 

representasi dimana suara mereka diwakilkan oleh para 

wakilnya di parlemen berdasarkan pemilu. dengan 

memaksakan suara mereka terlebih sampai menyebabkan wakil 

yang mereka pilih sendiri tewas, tidakkah mereka 

berkhianat terhadap prinsip yang mereka usung sendiri?
mungkin, kita semua rindu terhadap kepribadian seorang 

kaab yang mengatakan sesuai dengan apa yang ia lakukan. 

wallahu'alam.