Sabtu, 12 Januari 2008

sampai mati

"aku cinta kau sampai mati tidakkah itu cukup?"
"belum, setidak-tidaknya hingga kau benar-benar mati"
kadang, semuanya bermula dari kecerobohan. kau tak pernah bisa tahu mengapa hari ini begitu sial dan malamnya kau mendapatkan keberuntungan yang luar biasa. bagai teknik typing dan segala teknik petikan yang ku tak hapal lagi namanya.. dimainkan balawan dalam dance blejigur...dengan genre musik yang disebut jazz...
begitulah hidup 'dimainkan'. penuh improvisasi.
dua kalimat teratas menjadi sisi hidupku yang lain. kurasa, bagai disengat lebah atau malah terhentak ratusan arus AC.. yang aku tak pernah rencanakan akan menjadi kenyataan. semua hanya ada di alam mimpi, dimana aku menjadi tuan dari dunia yang kuinginkan/seperti semua adalah firdaus di chocholate factorynya Johny Deep. . aku bisa menghirup coklat sepuasku, karena semua terbuat dari coklat, bahkan air sungai, bahkan daun-daun, bahkan 'maaf' tinja..
atau setidaknya ada di dunia sinetron, dimana imaji sutradara bermain atau tepatnya 'dipaksa untuk bermain' agar rating film naik, iklan berhamburan, budget bisa tertutupi, dan rupiah melimpah. yah, disana dunia yang dekat dengan kita , tak ada yang aneh, namun semua detail benar-benar diperhatikan. atau lebih tepatnya dieksploitasi.. cinta benci menjadi aktor yang tak pernah hengkang dari panggung kaca. semua menjadi aktor, semua menjadi aktris. hingga ibu-ibu arisan benar-benar lupa ia adalah istri seorang tukang ojek dan lebih memilih menjadi ibunya candy, atau ibunya aisyah, karena setidaknya mereka punya anak cantik yang diperebutkan banyak lelaki gagah.
hallo. wake up! ini dunia nyata. dimana aku tinggal di jatinangor yang ampe sekarang sesek minta ampun karena orang bejubel plus assap yang bikin pasti u semua bakal berpikir ulang tentang image sumedang sebagai kota yang lengang/.
ketika aku sekarang sedang mengisi post blog ku yang tidak dilihat siapa-siapa,
dan aku yang sedang berusaha mengerjakan skripsi yang tak kunjung kelar.
segala rutinitas itu harus terwarnai oleh takdir..mm ya aku suka menyebutnya..
moga aku dapat belajar dari ujian ini, sehingga kalimat kedua yang aku sempat siratkan tak lagi bahkan terpikir olehku. karena hidup adalah aktivitas belajar tiada henti, karena hikmah adalah butiran mutiara yang harus diselami.
moga dunia dongeng ini dapat membuatku menjadi arif yang sebenarnya.

11 Januari 2008

Sore di Bandung Electronic Center, tepatnya, gerai esia. untuk beberapa orang, atau mungkin sebagian besarnya, menunggu adalah hal yang menyebalkan, tak terkecuali aku. Kontan 2 jam (17.30-19.40) – lebih malah – waktu yang harus kurelakan untuk menunggu, mengantri duduk di ruang tunggu ruang berdekorasi hijau itu.

Seperti kebanyakan pelanggan esia lain, sayangnya aku bukan, tapi baru bakalan, aku menunggu dengan nomor antrian bergenre costumer service, bagian yang selalu ramai dikunjungi orang. Betapa tidak, seringkali pelanggan esia mengeluh karena macam-macam. Ada yang komplain karena nomornya tidak juga aktif, padahal sudah tiga hari lalu , di inkjet, ada yang mengeluh karena sering dapat gangguan, ada yang susah ngisi pulsa sampai ada yang pulang lagi karena harus nunggu antrian yang terlalu lama..

Sedang aku? Untuk pelanggan yang insya Alloh akan menggunakan jasa anak perusahaan bakrie ini, aku mungkin tergolong yang tidak potensial. Aku sengaja kesini untuk mengisi nomor inkjet gratisan – meski dengan konsekuensi pulsa kosong – untuk hp baru berusia urdu, berharga 70 ribu, yang harus mengorbankan uang saku.

Sebagai gambaran tentang keladinya Nexian 350 ini, disela-sela perenunganku, sempat ku tercekikik melihat seorang bapak tua, kutaksir sekitar tiga perempat abad, duduk di sampingku. Ketika nomornya dipanggil, aku tersenyum malu sendiri. Ternyata hp si bapak sama persis dengan hp ‘baru’ku.

Selain itu, aku dan eko tertawa berderai-derai membahas banyak hal seperti yang tergambar dalam dialog ini :


Eko : gua yakin abis ini lo bi, mudah-mudahan ga ada lagi orang yang disela nomor lo – katanya sembari melihat nomor ku di angka 515.

Aby : itu, masih ada yang pake jaket item. Kayanya dia juga antre disini bos.

Eko : yah ila masih ada aja ya, udah bosen gue nunggu lama-lama.

Aby : lu mau cepet dapet nomor giliran ga? Gua ada akal

Eko : apaan?

Aby : gimana kalau tuh orang yang pake jaket item lu ajak ‘kencing’ ke belakang. Kan bisa gua selak.

Eko : iya juga yah, ntar bilang aja kita lagi promosi, sekali kencing, gratis boker.

Aby : wah ide cerdas lu ko, terus lu bilang juga, wc kita ramah lingkungan. Nanti, kencingnya bisa didaur ulang. Kan sekarang lagi marak isu global warming, lagian kayaknya si bapak aktivis lingkungan.


Tapi karena si bapak berjaket hitam ternyata bukan salah satu pelanggan yang mau mengeluh, jadi rencana kita gagal deh.


Sekarang diskusi yang lebih berat


Aby : ko, gua sempet kepikiran ga mau nikah. Jadi jomblo seumur hidup

Eko : kalau gua pikir, nikah itu bisa ngelatih kita buat hidup bertanggungjawab

Aby : serius lu? Bunda Theresa ga pernah nikah, rabiah aladawiyah ga nikah. Dan gua pikir mereka orang yang sangat bertanggungjawab, khususnya sebagai tokoh publik

Eko : gua pikir nikah itu seni tau. Dengan nikah lu harus mengatur pembagian peran antara istri lu dan lu, gimana ngatur anak-anak lu dan itu adalah tantangan. Lu kenapa ga mau nikah, takut bertanggungjawab?

Aby : kalau masalah tanggung jawab, gua rasa gua siap. Gua ngerasa sangat yakin dan terlatih kalau buat masalah tanggungjawab. Tapi bukan itu masalahnya.

Eko : terus apaan?

Aby : gua kayaknya masih harus kenal perempuan lebih baik lagi deh, gua takut (dalam hati – ga bisa ngebahagiain istri gua nantinya, lu tahu kan gua orang yang ga bisa romantis, bukan orang yang bisa ngerti perasaan perempuan, bukan lelaki hangat tempat perempuan berkeluh, berkesah, dan meminta perhatian, dan segala embel-embel itu) bebas.


Selesai ngomong ngalor ngidul, mesin penyebut angka menyebut jelas: “Nomor Antrian 515”, aku pun beranjak dari tempat duduk, bertanya tentang gimana sih kalau nomor hp inject an hangus dan pengen ganti yang baru? dia lalu melihat nomor ku dan mengetik di computer sebentar. “Di cek dulu ya mas, nomor hp nya!” “mas nomornya emang hangus tapi baru tanggal 2 Januari kemarin, jadi masih terdaftar di register, mmm gimana kalau nomornya di hapus sekalian aja dulu terus mas balik lagi besok buat inject lagi, soalnya kalau sekarang ga sempet, karena butuh proses buat nginject hp”. dan ternyata ... kita pun haru pergi dan merelakan diri buat dengerin saran mas-mas teller itu. Sebelumnya, aku tak lupa bertanya “mas, kalau nginject gratisan kan?”

Senin, 07 Januari 2008

keras kepala

bibir pecah-pecah itu perlahan mengucap, alhamdulillah! dengan mimik yang sederhana, tanpa direkayasa. ibu mus yang sederhana kemudian dipeluk erat oleh muridnya dahulu, andrea hirata.
peristiwa itu terjadi di kamis malam, di layar kaca. metro tv program kick andi.

dia bukan siapa-siapa, karena itu ia canggung ketika tampil di panggung. kalau anda juga menyaksikan malam itu, lihatlah tampangnya dari atas kepala hingga ujung kaki. kerudung cokelat yang pudar, berpadu dengan seragam PNS cokelat kebanggaan yang juga sudah pudar. tangannya sesekali tampak memegang kacamata.

wajahnya datar saja, mengartikan kata sekadar. malam itu, tidak ada adegan melankolis khas sinetron, dimana sang artis akan berairmata hingga menceguk. dia sungguh biasa saja. mungkin kah pesisir mendidik dia supaya menjadi keras?tegas? ah lebih dari itu, kurasa, ia ingin mengajarkan kepada pemirsa arti kata ikhlas.

aku tak peduli, yang terpenting, ibu sederhana itu juga ada, bukan hanya reka. mungkinkah diikuti dengan laskar pelangi? suatu harap yang absurd kah jika ada seorang lintang dan mahar yang hidup di era seperti ini?

kembali lagi ke kata biasa, ibu mus benar-benar mendefinisikan kata itu. ia tidak cantik, tidak pula sangat cerdas, tidak mempunyai suami pejabat, atau anak-anak lucu yang gemar mondar-mandir di televisi. ia pun bukan keturunan raja-raja. hanya dari keluarga kelas menengah, yang melanjutkan pendidikan di Sekolah Keguruan di Pulau Bangka.
satu-satunya yang tidak biasa adalah dia keras kepala.

dia meninggalkan terang untuk memasuki gelap. pulau belitong yang penuh dengan jembel miskin disampangi, ia mendidik anak-anak orang-orang yang berprofesi dengan partikel awal buruh. entah itu buruh tani,buruh nelayan, buruh timah, buruh bangunan dan sebagainya dan sebagainya. tidak ada kata tuan atau majikan yang barangkali menghias di depan profesi para orang tua murid di Sekolah Muhammadiyah itu.
gajinya? cukup dengan beras beberapa kilo. ia pun harus bekerja kembali di malam hari menggagahi mesin jahit tua sekadar mengharap sedikit kais rejeki bagi anak-anaknya.

tapi ia tetap saja keras kepala. bukannya pergi ke sumatera untuk dapat hidup yang lebih baik, mendapat gaji yang lebih baik, dan tinggal di tempat yang lebih baik, ia masih berkeras tinggal dalam gelap.

ia berjudi. mungkin saja satu dari sepuluh muridnya menjadi 'seseorang' yang menerangi gelapnya pulau belitong nanti. atau kalaupun bukan mereka, anak-anak mereka barangkali, cucu-cucu mereka barangkali, suatu harap yang tak kunjung lepas. karena itu ia kusebut keras kepala

peran

‘Dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah. Ada peran wajar dan ada peran berpura-pura’.


Kutipan tembang lawas milik penyanyi senior Ahmad Albar memberkas, memberi renung di dalam relung. Sepakat jika diibaratkan dunia sebagai panggung sandiwara yang terdapat peran aktor-aktor didalamnya. Karena peran, menurut penulis adalah kata ganti manusia. Merujuk pada istilah dee dalam ‘Supernova: Ksatria, puteri dan bintang jatuh’; opto ergo sum lebih tepat dibanding cogito ergo sum, atau manusia bertindak maka manusia ada lebih tepat dibanding manusia berpikir maka manusia ada. Tindakannya di alam nyata itulah yang melahirkan manusia bukan hanya ide-idenya yang masih ada di dalam kepala. Tindakan manusia menjadikannya sebagai aktor yang memegang peran dalam setiap episode kehidupan. Pratagonis, antagonis atau hanya sebagai figuran.


Dalam pengertiannya di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, peran didefinisikan sebagai seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat. Satu kata kunci, masyarakat, menjadi penyangga utama definisi ini. Peran akan kehilangan fungsinya ketika menafikkan masyarakat yang merupakan habitat. Oleh karena di dalam dunia realitas, manusia tidak hidup sendiri. Ia adalah mahluk sosial yang harus berdialog. Terjadinya interaksi antar individu atau individu dengan kelompok atau dengan koloni merupakan syarat mutlak pengejawantahan dari peran.


Kata itu kini menjadi tanda tanya yang beralamat pada insan intelektual kampus bernama mahasiswa. Dulu, ketika negeri ini masih gelap, meski sudah mendapat julukan negeri merdeka, mahasiswa membawa obor dengan bara ilmu pengetahuan dan berkayu moral. Mereka melawan tirani para penguasa yang sungguh tidak sesuai dengan kaidah akademis di kampus yang demokratis dan kritis.


Lagipula, rakyat turut menjadi korban akibat kesewenang-wenangan para penguasa. Dua contoh rezim menjadi catatan merah bagaimana mahasiswa memenuhi peranannya. Bung Karno yang lebih suka berpolitik dan berbicara mengenai hal-hal ideologis seperti nasakom dan manikebu sementara rakyat di luar lapar dan butuh makan. Juga Pak Harto, Jendral besar yang terus mendewakan stabilitas demi lancarnya pembangunan kemudian meninggalkan demokrasi dengan membungkam kebebasan berpendapat


Mahasiswa bergerak mengambil peran menjadi oposan. Pada masa Bung Karno, angkatan ’66 mengambil peran itu. Mereka berteriak-teriak mengenai Tritura berisi tentang pembubaran PKI, menurunkan harga dan sidang istimewa yang beralamat kepada suksesi. Pada Sidang Istimewa MPR 1968, Proklamator yang dulu menjadi pahlawan harus turun tahta. Pembelaannya yang bertajuk nawaksara ditolak mentah-mentah. Mahasiswa ‘berhasil’ menggantikan rezim Soekarno dengan Jendral Soeharto yang kala itu dielu-elu sebagai pahlawan baru setelah peristiwa Gestapu.


Setelah 32 tahun masa pembangunan Pak Harto, mahasiswa mengusung satu tema besar, raformasi! Lagi-lagi kaum yang dikatakan Anhar Gonggong dengan julukan terdidik tercerahkan itu berkelahi dengan tirani. Ribuan anak muda beralmamater berkumpul di Gedung DPR/MPR di senayan sebagai bentuk tuntutan agar jendral besar Soeharto mengundurkan diri. Mereka sukses. Dalam pidatonya di pagi, 22 Mei 1998, bertempat di Istana Merdeka, Soeharto menyatakan lengser ke prabon.


Kini masa itu telah berganti. Demokrasi yang menjadi tema besar dalam setiap tuntutan sudah dapat dinikmati. Pemerintahan sudah jauh lebih demokratis, parlemen yang dulu dikatakan impoten sudah semakin kuat, malah terlalu kuat. LSM juga tumbuh dimana-mana. Jangan ditanya tentang kebebasan pers. Masyarakat jurnalisme kini bebas menulis apa saja, melaporkan apa saja. Tidak hanya itu, kini dengan perkembangan teknologi digital, ruang berita tidak hanya menjadi hak monopoli wartawan, warga biasa pun dapat menjadi jurnalis.


Memang masih saja terjadi korupsi yang dilakukan oleh berbagai pejabat, entah negeri atau swasta, illegal loging yang menghabisi hutan-hutan, penegakan hukum yang setengah-setengah, hingga negara yang melemah dan membiarkan kedaulatannya diacak-acak negara tetangga. Akan tetapi, kesemuanya itu bersifat sporadis dan tidak melembaga. Kejahatan dan hal-hal buruk yang dilakukan, bisa dikatakan tidak secara formil menjadi kebijakan pemerintah. Dampaknya,, mahasiswa kehilangan sparring partner nya di ring tinju. Tidak ada pemerintah tirani sebagai musuh nyata yang harus diberantas di depan mata.


Sekarang apa peran mahasiswa? Cukupkah dengan menikmati anggur kemenangan karena demokrasi yang dulu dijerihpayahkan sudah dapat dinikmati? Bila dahulu ia mengambil peran sebagai oposan karena pemerintah yang tiran lalu bagaimana dengan kini dan bagaimana dengan nanti?

Seperti dalam panggung sandiwara, peran pun dapat berubah sesuai dengan konteks – ruang dan waktu – episode yang dimainkan. Akan tetapi yang pantas menjadi catatan, perubahan peran ini hanya sebagai modifikasi, tidak masuk sampai ke ranah substansi.

Seorang ayah boleh menjadi laki-laki lucu di depan anak-anaknya tetapi tidak ketika ia bekerja. Di kantor, ia akan merubah peran ayah menjadi seorang karyawan suatu perusahaan. Lalu puluhan tahun kemudian, ia akan berganti peran menjadi seorang pensiunan dan seorang kakek dari cucu-cucunya yang tentu merupakan satu fase hidup yang berbeda dari sebelumnya.


Peran kaum terdidik-tercerahkan dalam masyarakat juga tidak dapat lepas dari konteks ruang dan waktu. Meski sekarang lembaga tirani sudah menjadi almarhum dan kehidupan demokratis sudah dapat dinikmati, hakekat mahasiswa sebagai agent of change dalam masyarakatnya harus terus dijalankan, tentunya dengan pola yang dimodifikasi. Jika dahulu rakyat butuh pemuda-pemuda pembebas yang garang dan rela mati melawan tirani, kini mereka lebih butuh sosok resi yang mampu mencerahkan mereka dari kebodohan, dapat menjadi inspirasi dalam melawan kemiskinan


Ingat, masih ada 20% orang miskin di republik ini (versi BPS sedangkan 40% versi bank dunia). Jangan hanya karena tidak adanya lawan tanding lalu mahasiswa terbuai dengan buku-buku, dan hanya larut dalam kegiatan laboratorium. Atau kalaupun pergi ke dunia organisasi, pelajaran dari event organizer lah yang sekarang lebih dicari. Rakyat butuh mahasiswa. Mereka mendambakan resi yang kini duduk terbuai di menara gading universitas, untuk sudi menurunkan tangannya, mencerdaskan mereka.


Sekitar tahun 1970-an, cendikiawan muslim asal Iran, Ali Syari’ati mengajarkan mahasiswanya tentang langkah pertama yang harus dimulai kala menghadapi masyarakat yang sedang berada dalam proses berkembang dari suatu kondisi ke kondisi yang lain. Ia menyebut pembangunan satu jembatan komunikasi yang kokoh antara rushan fekran yang berarti kaum intelektual dengan masyarakat.


Ali syariati menganggap rakyat jelata memandang kaum intelektual adalah orang-orang yang tinggal di pulau yang indah, berharga dan misterius sementara pulau itu mereka ongkosi dan dukung perkembangannya. Ironis, kaum jelata tidak dapat memasuki pulau indah tersebut karena terdapat laut curam yang menjadi antara dengan tempat tinggalnya. Maka, harus ada satu jembatan untuk membuat mereka saling berkunjung sehingga dua kutub di tempat yang berbeda, kutub teori di pulau intelektual dan kutub praktik pada masyarakat dapat bersinergi.


Kemudian Ali Syariati bertanya kembali, “siapa yang harus mulai?”. Ia menjawab lagi pertanyaannya dengan jawaban sederhana. “Orang-orang yang tercerahkan”, tanpa embel jelata atau intelektual.