Rabu, 06 Mei 2009

dengan dinar membangun peradaban

Uang mulai dikenal manusia dengan berbagai bentuknya sebagai alat tukar dari zaman Mesir kuno 2000 SM-4000 SM lalu. Setelah mengalami berbagai macam percobaan, maka sang Kaisar Romawi   kuno yang ketika itu memimpin dunia, Julius Caesar (46 SM) mulai mengampanyekan emas dan perak sebagai alat tukar perdagangan yang resmi. Ia menyebutnya dengan nama dinarium.

Dalam buku bertajuk Mengembalikan Kemakmuran Islam dengan Dinar dan Dirham ini, sang penulis, Muhaimin Iqbal menggambarkan perjalanan dinar dan dirham dari era romawi kuno, zaman rasulullah pada 7 M, Umar Bin Khattab yang mulai mencetak mata uang dinar dan dirham, zaman khalifah Abdul Malik pada tahun 642 M hingga akhir masa kekhalifahan di era Utsmani yang runtuh pada tahun 1924.

Selama masa itu, dinar dan dirham disebutkan mempunyai tsaman khalqi atau nilai hakiki yang sesuai dengan nilai intrinsiknya. Inilah yang membuat mata uang ini disebutkan sebagai hakim yang adil maka nilainya tetap stabil hingga mencapai 1400 tahun (dinar/emas) dan 1800 tahun (dirham/perak). Contoh sederhana adalah berdasarkan hadits riwayat Bukhari, harga seekor kambing ketika rasulullah hidup senilai 1 Dinar yang bila diakumulasikan saat ini adalah sekitar Rp.800.000 bandingkan dengan harga kambing saat ini yang kisarannya tidak jauh dari angka tersebut.

Tidak hanya itu, buku ini pun mengupas bagaimana lemahnya fiat money alias uang kertas yang saat ini dianut oleh masyarakat dunia. Pada awal kelahirannya, uang kertas saat ini sebenarnya adalah manifestasi dari bank notes yang masih menggunakan standar emas. Kemudian setelah great depression pada 1930-an, terjadi devaluasi mata uang uang USD terhadap emas sebanyak 75% yang tadinya 25 USD per Troy Ounce menjadi 35 USD per Troy Ounce. Maka, untuk menjaga stabilitas USD, AS mengadakan konferensi Bretton Woods yang menghasilkan USD sebagai mata uang internasional satu-satunya penjaga emas. Ini dengan kompensasi AS akan menjaga cadangan emasnya sesuai dengan USD yang dikeluarkan. Saat itu disepakati nilai 35 USD=1 Troy Ounce.

Cuma, memasuki tahun 1971 di AS terjadi apa yang disebut dengan Nixon Shock yaitu ketika cadangan emas AS menipis sehingga tidak mencapai 100% USD yang telah dikeluarkan. Maka, pada Desember 1971 disepakatilah Smithsonian agreement yang menyatakan dihapusnya pencadangan emas atas nilai yang dikeluarkan. Dari sinilah floating exchange rate bermula yang kita kenal dengan sebutan fiat money.

Tidak adanya pencadangan sebagai jaminan atas uang yang dikeluarkan membuat nilai uang menjadi semu. Terlebih karena uang kertas yang saat ini beredar tidak mempunyai nilai intrinsik yang sama dengan nominal yang tertera dilembarnya.

Bila berkaca pada sistem pencadangan yang ditetapkan oleh BI dengan sistem GWM atawa Giro Wajib Minimum hanya sebesar 5% dari total Dana Pihak Ke tiga (tabungan dan deposito),  maka bank akan dengan leluasa mengeluarkan pinjaman (loan) kepada para debitur.

Nah, yang menjadi masalah adalah sudah jamak bahwa bank lebih suka mengeluarkan uangnya ke sektor finansial bukan riil. Karena imbal hasil yang didapatkan jauh lebih menguntungkan dan lebih cepat. Bayangkan bila bank menaruh uangnya kepada bank lain untuk mendapatkan bunga yang besar kemudian bank debitur tersebut menyisakan deposit uangnya sebesar 5% kemudian meminjamkan lagi ke bank selanjutnya.

Ketika itu terus terjadi, saat volume uang meningkat sementara faktor produksi terhambat karena kurangnya sokongan dana untuk sektor riil, maka inflasi akan terjadi. Nilai uang akan turun dan harga-harga membengkak. Walhasil, Rakyatlah yang akan menjadi semakin sengsara.

Lalu sebagai seorang muslim, bagaimana kita harus bersikap di tengah-tengah kungkungan sistem fiat money sekarang ini? Sulit memang untuk mengharapkan Pemerintah Indonesia untuk menetapkan dinar dan dirham sebagai mata uang resmi. Namun, patut diingat bahwa dinar dan dirham berharga bukan karena pengakuan pemerintah. Mata uang logam ini bernilai karena mempunyai nilai intrinsik yang melekat kepadanya. Oleh karenanya, dinar dan dirham sebenarnya dapat digunakan dengan barang berharga lain apa pun dan kapan pun yang kita mau. Jikalau tidak memungkinkan, karena pemahaman masyarakat yang masih terbatas, maka kita bisa menyimpan dinar dirham sebagai instrumen investasi.

Selain itu, dinar dirham dapat digunakan untuk perencanaan keuangan yang aman, misalnya untuk merencanakan pensiun, pendidikan anak dan sebagainya. Saat ini banyak jasa asuransi syariah yang memiliki produk dinar dan dirham untuk perencanaan masa depan.

Sebagai buku yang menjelaskan satu sempalan dari sistem moneter, buku ini tergolong mudah dimengerti. Bahasa yang dipakai pun renyah dan bertutur sehingga pembaca menjadi nyaman dibuatnya. Meski demikian, tidak berarti mengurangi kadar kelengkapan literatur penyokongnya. Selain terdapat nash-nash Alqur’an dan hadist, buku ini juga menampilkan beberapa karya ilmiah sekelas The Great Contraction, Economic Hit Man hingga Fiqh Zakat karya Yusuf Qardhawi.

Cuma ada beberapa cacat yang mungkin membuat pembaca mengernyitkan dahinya saat membaca buku ini. Semisal saat menuliskan prosentase pertumbuhan negatif nilai rupiah terhadap emas  sebesar 84% dari Rp 26000 per gram ke Rp 161.000 per gram. sebesar 84%. Padahal jika kita mau berkalkulasi. Hasil tepatnya adalah 511,1% .

Ditambah lagi dengan hiperbolisme penulis saat menganalogikan bank yang meminjamkan uang ke bank lain dan seterusnya yang bisa menimbulkan multi interpretasi di benak pembaca. Padahal, akan sangat konyol jika bank menggunakan DPKnya hanya untuk meminjamkan ke satu atau beberapa bank karena bank mempunyai prinsip berbagi resiko agar resiko yang mungkin didapatkan sangat kecil seperti menaruh dana pada SUN, obligasi dan kredit bank pun tergolong besar di korporasi karena bunganya juga besar.

Terlepas dari itu semua, buku ini patut menjadi referensi kita di tengah melorotnya ekonomi dunia karena perbuatan jahat sektor finansial. Pun dengan wacana pelembagaan kembali mata uang dinar dan dinar, maka ukhuwah islamiyah antar negara islam akan semakin erat. Wallahu’alam.

Jumat, 17 April 2009

Bukan Sekadar Wacana

Dalam dua ayatnya, Tuhan yang Maha Sempurna pernah berkata : Wahai orang yang beriman, mengapa kau mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan; Allah sangat membenci orang yang mengatakan sedang ia tidak melakukan.

 

Kalau kita menuruti secara literal makna ayat di atas, boleh jadi kita semua merupakan mahluk yang paling dibenci Allah diantara miliaran ragam ciptaannya. Cobalah hitung dengan jemari terlengkap dari tangan hingga kaki, berapa kali kita melanggar perkataan kita sendiri sehingga membuat cacat integritas yang telah kita pahat susah dan payah selama masa hidup di dunia.

 

Untunglah Allah punya sifat dasar rahman, rahim yang membuat kita bisa memohon ampun, dan berucap sederhana, astaghfirullah setiap kali kita ingkar. Untung juga Tuhan kita Maha pengertian. Ia sungguh mengerti ungkapan puisi dee dalam recto verso. “Terkadang malaikat tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan.” Maka Tuhan sungguh mafhum bahwa sebaik hati apa pun kita, sewali apa pun kita, sesosial apa pun kita, masih punya hal yang menjadi fitrah, ketidaksempurnaan.

 

Hanya saja, sayang, kita memanfaatkan sifat Tuhan kita yang rahman dan rahim untuk mendapatkan justifikasi. Sehingga istighfar tak lebih dari sekadar pemanis bibir. Hanya ritual harian yang kita ucapkan agar Tuhan mau mengucurkan lagi sifat rahman dan rahim-Nya.

 

Kalau saja kita yang bebal ini mau sedikit merenung, sebenarnya perintah Tuhan untuk melakukan sesuatu yang kita katakan adalah demi kepentingan kita sendiri. karena kita punya takdir yang sungguh menyenangkan, untuk tidak hidup sendirian. Percayalah kawan, suara kita terdengar keluarga,  tetangga sekitar, dan  masyarakat. Mereka lah sesungguhnya sumber eksistensi kita, ibu dari integritas kita, refleksi diri kita. Seperti yang diungkap Francis Fukuyama dalam hipotesisnya yang berkata; kepercayaan adalah satu modal sosial.

 

Tersebut satu hikayat yang sedikit menggambarkan betapa penting makna hipotesis Pak Francis Fukuyama itu. Syahdan, hiduplah seorang bernama bahlul yang hidup dalam satu kampung atap langit. Di sana, Bahlul terkenal sebagai seorang cerdas yang selalu menjadi panutan setiap warga dikampungnya.  Sampai pada suatu kali orang sekampung dibuat gempar tatkala dia bercerita tentang adanya kebakaran yang mengancam kampung tersebut. Orang kampung yang ketakutan sudah tentu panik dan mengungsi ke kampung sebelah. Sampai esoknya tersiar kabar bahwa kabar yang dihembuskan bahlul tidak terbukti dan bohong belaka. Walau berani disumpah pocong kalau ia melihat sebuah rumah yang terbakar, warga acuh dan mulai menaruh curiga terhadap Bahlul.

 

Satu minggu kemudian, Bahlul kembali mengabarkan kepada handai taulan bahwa kampungnya terancam banjir. Ia pun repot-repot memperlihatkan bukti palsu berupa telegram dari penjaga tanggul terdekat bahwa air akan masuk ke kampungnya jam duabelas petang. Melihat bukti itu, orang sekampung yang tadinya menutup telinga pun percaya kepada bahlul. Untuk keduakalinya, mereka berbondong kembali mengungsi ke kampung sebelah. Beberapa hari berselang, perkataan bahlul tak terbukti. Bukannya tertimpa banjir, kampung warga yang kosong melompong malah menjadi sasaran garong yang menjarah harta benda warga kampungnya.

 

Walhasil, warga yang kesal kepada bahlul akhirnya mengisolir Bahlul dan bertekad tidak akan mempercayai setiap perkataan Bahlul lagi. Sampai suatu waktu, orangtua Bahlul sakit keras dan ia tidak punya uang untuk biaya berobat. Bahlul pun berikhtiar untuk meminjam sejumlah rupiah untuk biaya pengobatan alakadarnya. Ia berkeliling kampung dan memohon agar diberi pinjaman sekadarnya. Warga yang sudah kapok dengan cerita Bahlul menutup erat-erat segala perkataan Bahlul. Mereka menganggapnya hanya sekadar angin lalu, tidak lebih. Sampai keesokan hari, Bahlul melihat orangtuanya lemas terkulai dan tidur untuk selamanya. Bahlul mafhum. Ia telah mendapatkan tuah setimpal dari apa yang dilakukannya. 

Rabu, 18 Maret 2009

ku dan kau bukan malaikat

tak ada yang sempurna, itulah kesempurnaan. seperti petuah gurunya sun gu kong dalam kera sakti, isi adalah kosong dan kosong adalah isi. ku dan kau bukan malaikat, tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan. aku pelupa, engkau yang telaten. aku idealis kau yang pragmatis. aku perasa engkau pemikir. tapi apakah itu kan membuat kita berpisah?
cukup sudah cerita abang yang terlalu tulus sehingga mati karena cintanya. tidak ada yang mau menerima, hanya bunda, yah hanya bunda yang bisa memahami ketulusan cinta abang yang tanpa pilihan.
aku dan kau, kelak kita akan berpeluk menyatu tanpa lagi jarak. engkau adalah aku dan aku adalah engkau. kita dan penerimaan. kita dan kedewasaan. karena waktu akan mendidik kita menjadi seorang resi bijak yang lapang dada. dengan buta dan tuli kepada materi. 

Jumat, 06 Maret 2009

depresi

Minggu ini sudah ada dua orang mati di Condet Raya, tanah kelahiranku tercinta. Memang untuk daerah seluas Condet, kematian satu orang per minggu pun terhitung jarang. Jadi, anda mestilah bertanya apalah istimewanya Izrail kali ini merenggut dua nyawa lagi?
kawan, kematian ini terhitung spesial karena dua nyawa itu melayang tanpa melapor terlebih dahulu kepada Izrail. Mereka begitu lancang mengambil alih tugas sang penjagal dengan menggantung dirinya sendiri karena depresi.
salah seorang korban adalah Manajer Srijaya Sekuritas. perusahaan Manajer Investasi yang tengah bermasalah dengan Bappepam-LK gara-gara disinyalir menggelapkan duit nasabahnya. karena pusing harus mengurusi klaim tujuhribuan nasabahnya, Sang manajer yang bertempat tinggal di Jl. Batuampar itu pun nekad gantung diri.
korban kedua lebih muda dan hanya orang asing di berbagai dunia entah ekonomi, politik, sosial atau budaya. menurut kabar yang beredar, usianya tidak lebih dari 15 tahun. ciri-ciri fisiknya pun banyak yang disanjung warga. ada yang bilang dia putih, gagah, berambut panjang. banyak orang menyayangkan mengapa dengan usia semuda itu, ia bisa memaksakan diri untuk pergi ke akhirat. 
depresi adalah kata yang tepat untuk menggambarkan betapa manusia bisa dengan mudah berbuat nekad. kami, anak-anak proletar Lamin Etam, biasa menyebutnya hopeless yang kami terjemahkan menjadi tidak dapat kiriman uang, punya banyak utang, dan usmas yang tidak kunjung di ACC para dosen tersayang. 
cuma ada perbedaan mendasar antara kami dengan para korban itu. walau penuh dengan kesulitan, kami mempunyai sedikit iman, kami kenal Tuhan, dan selalu mengharap pada Nya. walau umumnya cuma pada saat kami dalam musibah. 
untuk meredakannya, kami selalu berbagi setidaknya bercerita dan berkisah. walau cuma sebatas gerakan No Action Talk Only, tapi kami merasa puas. setidaknya energi negatif itu dapat kami salurkan.
Seperti seorang Asrul, tokoh paling susah dalam PPT yang selalu berbagi kepada isterinya dan sohibnya bang Udin. itulah kami.
aku jujur, saat ini sedang depresi. pikirku tumpul karena terus menerus berharap kepada bunyi suara merdu diujung handphone, yang memerintahkanku agar berkemas dan meluncur ke kantor baru. rindu suara pak pos yang mengirimkan surat bercap dompetdhuafa berisikan kepastian pencairan cek sebesar 10 juta, dan bosan melihat kelima baglog jamur ku yang belum juga memperlihatkan tunasnya. aku sedih dan hampir putus asa. 
cuma, aku akan terlalu malu untuk bunuh diri.  bagaimana bila nanti Dia akan bertanya.. "...Nikmat Tuhan yang manalagi kah yang akan engkau ingkari.." tak akan ada kalimatku untuk menjawabnya. Aku yakin dan pernah merasakan nikmatNya. Arrahman, Arrahim. Pada Mu lah aku menyembah dan memohon pertolongan. aku yang berharap.

Kamis, 19 Februari 2009

tentang idealisme wartawan

Tulisan di bawah ini sudah dimuat di Surabaya Post Sabtu kemarin.

Rezeki yang halal akan terus memburu dan menemukanmu

“Bila seseorang datang pada saya menyodorkan uang Rp 935.750.200, yang katanya uang ’amplop’ yang pernah saya tolak, lalu diinvestasikan ke usahanya, kemudian berkembang, dan dinyatakan sebagai hak saya, apa yang harus saya lakukan?” tanya seorang wartawan, berkonsultasi pada saya.

Sungguh pertanyaan yang tidak mudah, dan kasus yang tidak lazim. Saya kemudian mewawancarainya beberapa kali (lewat email). Pertanyaan saya antara lain: “Apakah ketika membuat beritanya dulu, Anda obyektif, jujur, tanpa tendensi apapun? Atau, apakah Anda menulis berdasarkan 'pesanan' dengan harapan akan imbalan, namun kemudian segan dan memutuskan menolak amplopnya?”

Inilah jawaban wartawan sang wartawan:

Sekitar 25 tahun yang lalu, saya reporter lapangan, setiap hari melewati sebuah sungai kotor di Jakarta Barat. Setiap hari saya melihat seorang pemulung memungut sampah-sampah plastik, kardus, dan botol. Saya terusik untuk mencari tahu, itu sampah mau diapakannya. Suatu waktu saya mampir ke gubuknya, dan saya takjub. Semua sampah itu diolahnya dengan mesin buatannya sendiri. Sampah plastik dijadikan biji plastik, kardus dijadikan bubur kertas, dan botol dilumatkan jadi serbuk kaca.
Pemulung ini bercerita, ide itu ia dapatkan ketika menonton TVRI. Hasil produksinya diterima sebuah pabrik di Pulogadung. Sebagai reporter, saya tertarik lalu mewawancarainya, mengikutinya mulai dari memulung sampah, mengolahnya, sampai pengiriman ke Pulogadung. Pemulung ini bercita-cita, tabungan dari hasil jualan produksinya, akan dibelikannya mesin yang lebih ’benar’ dan menyewa gudang untuk pabrik ’beneran’. Nah, saya kemudian menulis kisahnya yang hidup dari sampah.

Rupanya, seorang direktur Bapindo membaca reportase itu. Saya dihubungi sekretarisnya, dimintai alamat si pemulung, karena Bapindo akan membantu dengan KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen). Enam bulan kemudian, si pemulung, masih dengan tampilan yang sederhana, mengunjungi saya di kantor. Ia mengucapkan terima kasih ada bank yang membantu mewujudkan mimpinya. Lalu ia menyerahkan sebuah amplop tebal. Katanya, itu ungkapan terima kasih atas bantuan saya. Saya menolaknya. Saya bilang padanya: ”Pak, saya menulis tentang bapak karena saya merasa terusik melihat bapak setiap pagi ngacak-ngacak sungai. Saya nggak minta bayaran. Kalau bapak dibantu bank, Alhamdulillah, berarti bapak dapat kesempatan untuk maju. Maaf pak, saya tidak mau terima.”

Dia menatap saya sambil menangis. Lalu katanya, ”Pak, saya akan simpan uang ini, dan saya jadikan modal ikutan dalam perusahaan saya. Teserah bapak mau terima atau tidak, nama bapak ada dalam daftar pemegang saham perusahaan saya. Saya tahu bapak ikhlas menolong saya, tapi saya tidak mau melupakan jasa bapak. Kalau bapak tidak membuat berita tentang saya, mungkin saya masih ada di sungai itu saban pagi.” Ia menyalami saya, dan pergi. Saya tidak tahu berapa isi amplop itu.

Lalu semuanya berlalu, tahun berjalan, saya sudah lupa. Beberapa bulan lalu, pagi-pagi, saya ditelepon seorang laki-laki: ”Masih ingat saya, pak?” Lalu ia terus bicara dan sampailah pada inti pembicaraan pagi itu, ”Pak, uang bapak masih saya simpan.” Dan ia pun menjelaskan bagaimana uang itu ”bekerja” di perusahaannya. Sekarang jumlahnya hampir Rp 1 M. Nah, apakah saya boleh menerima uang itu?

Sungguh unik persoalan ini. Setelah berinteraksi, akhirnya saya tahu saya dan wartawan bersangkutan pernah bekerja di institusi yang sama, yaitu RCTI, kami seusia, dan saya sangat mengenalnya. Namun tulisan itu dibuatnya sebelum dia bekerja di RCTI. Kisah ini nyata dan bukan karangan.

Setelah mempelajari kasusnya, mengecek berbagai definisi ’amplop’ di berbagai kode etik, dan merenung berdasarkan nalar dan hati nurani, saya memutuskan: ”Uang tu hak Anda, terimalah.” Eh, bukannya bergembira, wartawan itu tidak berani menerimanya. Alasannya, dia tak mau menjilat ludahnya sendiri (dulu menolak kok sekarang menerima), dan Ustadznya mengatakan itu uang haram.

Saya kira, keputusan akhir memang di tangan dia. Apakah dia merasa nyaman menerima atau tidak menerimanya, sepenuhnya hak dia. Namun saya ingin menjelaskan mengapa uang yang hampir Rp 1 M itu saya anggap sebagai haknya? Uang itu lolos dari semua rambu kode etik tentang amplop wartawan: wartawan menulis tanpa tendensi, bukan suap, bukan sogokan, dan tidak mempengaruhi liputan. Paling banter, ini bisa disebut uang gratifikasi, dan gratifikasi tidak dilarang –setidaknya belum diatur- dalam kode etik jurnalistik.
Lebih dari itu, ini kasus yang diawali 25 tahun yang lalu. Hati nurani dan akal budi saya mengatakan, seseorang tak dapat lari dari rezekinya. Sang wartawan telah menghindari rezekinya 25 tahun yang lalu, namun rezeki itu masih menjadi haknya, dan memburunya hingga sekarang. Seseorang yang berniat baik (wartawan) bertemu dengan seorang lain yang sama baiknya (pemulung yang menjadi pengusaha). Berapa banyak pengusaha besar yang ingat jasa wartawan 25 tahun lalu, kemudian memberikan haknya sesuai janjinya (menjadikan ’amplop’ sebagai saham)? Allah menjanjikan, orang baik akan dipertemukan dengan orang baik, dan rezeki yang halal tak dapat dihindari.

Itulah sekelumit kisah tentang amplop wartawan. Sementara itu, dunia pers Indonesia saat ini sedang diguncang oleh skandal harian Sinar Indonesia Baru di Medan. Koran ini ditengarai memprovokasi massa selama tiga tahun belakangan ini dalam hal Propinsi Tapanuli. Dalam kasus tewasnya Ketua DPRD Sumut, awak redaksinya termasuk tersangka karena menerima uang jutaan rupiah dari dalang Protap, dan turut menyebarkannya pada pendemo.

Ini tentu masih perlu dibuktikan kebenarannya. Namun itulah dunia pers, ada yang betul-betul membela rakyat, ada yang membela kepentingan golongan tertentu; ada yang menolak amplop, ada yang menerima amplop. Semoga kita semua belajar dari kisah akhir pekan ini.


Sirikit Syah, Februari 2009 (disadur dari milis barudakbiru@yahoogroups.com)