Jumat, 17 April 2009

Bukan Sekadar Wacana

Dalam dua ayatnya, Tuhan yang Maha Sempurna pernah berkata : Wahai orang yang beriman, mengapa kau mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan; Allah sangat membenci orang yang mengatakan sedang ia tidak melakukan.

 

Kalau kita menuruti secara literal makna ayat di atas, boleh jadi kita semua merupakan mahluk yang paling dibenci Allah diantara miliaran ragam ciptaannya. Cobalah hitung dengan jemari terlengkap dari tangan hingga kaki, berapa kali kita melanggar perkataan kita sendiri sehingga membuat cacat integritas yang telah kita pahat susah dan payah selama masa hidup di dunia.

 

Untunglah Allah punya sifat dasar rahman, rahim yang membuat kita bisa memohon ampun, dan berucap sederhana, astaghfirullah setiap kali kita ingkar. Untung juga Tuhan kita Maha pengertian. Ia sungguh mengerti ungkapan puisi dee dalam recto verso. “Terkadang malaikat tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan.” Maka Tuhan sungguh mafhum bahwa sebaik hati apa pun kita, sewali apa pun kita, sesosial apa pun kita, masih punya hal yang menjadi fitrah, ketidaksempurnaan.

 

Hanya saja, sayang, kita memanfaatkan sifat Tuhan kita yang rahman dan rahim untuk mendapatkan justifikasi. Sehingga istighfar tak lebih dari sekadar pemanis bibir. Hanya ritual harian yang kita ucapkan agar Tuhan mau mengucurkan lagi sifat rahman dan rahim-Nya.

 

Kalau saja kita yang bebal ini mau sedikit merenung, sebenarnya perintah Tuhan untuk melakukan sesuatu yang kita katakan adalah demi kepentingan kita sendiri. karena kita punya takdir yang sungguh menyenangkan, untuk tidak hidup sendirian. Percayalah kawan, suara kita terdengar keluarga,  tetangga sekitar, dan  masyarakat. Mereka lah sesungguhnya sumber eksistensi kita, ibu dari integritas kita, refleksi diri kita. Seperti yang diungkap Francis Fukuyama dalam hipotesisnya yang berkata; kepercayaan adalah satu modal sosial.

 

Tersebut satu hikayat yang sedikit menggambarkan betapa penting makna hipotesis Pak Francis Fukuyama itu. Syahdan, hiduplah seorang bernama bahlul yang hidup dalam satu kampung atap langit. Di sana, Bahlul terkenal sebagai seorang cerdas yang selalu menjadi panutan setiap warga dikampungnya.  Sampai pada suatu kali orang sekampung dibuat gempar tatkala dia bercerita tentang adanya kebakaran yang mengancam kampung tersebut. Orang kampung yang ketakutan sudah tentu panik dan mengungsi ke kampung sebelah. Sampai esoknya tersiar kabar bahwa kabar yang dihembuskan bahlul tidak terbukti dan bohong belaka. Walau berani disumpah pocong kalau ia melihat sebuah rumah yang terbakar, warga acuh dan mulai menaruh curiga terhadap Bahlul.

 

Satu minggu kemudian, Bahlul kembali mengabarkan kepada handai taulan bahwa kampungnya terancam banjir. Ia pun repot-repot memperlihatkan bukti palsu berupa telegram dari penjaga tanggul terdekat bahwa air akan masuk ke kampungnya jam duabelas petang. Melihat bukti itu, orang sekampung yang tadinya menutup telinga pun percaya kepada bahlul. Untuk keduakalinya, mereka berbondong kembali mengungsi ke kampung sebelah. Beberapa hari berselang, perkataan bahlul tak terbukti. Bukannya tertimpa banjir, kampung warga yang kosong melompong malah menjadi sasaran garong yang menjarah harta benda warga kampungnya.

 

Walhasil, warga yang kesal kepada bahlul akhirnya mengisolir Bahlul dan bertekad tidak akan mempercayai setiap perkataan Bahlul lagi. Sampai suatu waktu, orangtua Bahlul sakit keras dan ia tidak punya uang untuk biaya berobat. Bahlul pun berikhtiar untuk meminjam sejumlah rupiah untuk biaya pengobatan alakadarnya. Ia berkeliling kampung dan memohon agar diberi pinjaman sekadarnya. Warga yang sudah kapok dengan cerita Bahlul menutup erat-erat segala perkataan Bahlul. Mereka menganggapnya hanya sekadar angin lalu, tidak lebih. Sampai keesokan hari, Bahlul melihat orangtuanya lemas terkulai dan tidur untuk selamanya. Bahlul mafhum. Ia telah mendapatkan tuah setimpal dari apa yang dilakukannya.