bibir pecah-pecah itu perlahan mengucap, alhamdulillah! dengan mimik yang sederhana, tanpa direkayasa. ibu mus yang sederhana kemudian dipeluk erat oleh muridnya dahulu, andrea hirata.
peristiwa itu terjadi di kamis malam, di layar kaca. metro tv program kick andi.
dia bukan siapa-siapa, karena itu ia canggung ketika tampil di panggung. kalau anda juga menyaksikan malam itu, lihatlah tampangnya dari atas kepala hingga ujung kaki. kerudung cokelat yang pudar, berpadu dengan seragam PNS cokelat kebanggaan yang juga sudah pudar. tangannya sesekali tampak memegang kacamata.
wajahnya datar saja, mengartikan kata sekadar. malam itu, tidak ada adegan melankolis khas sinetron, dimana sang artis akan berairmata hingga menceguk. dia sungguh biasa saja. mungkin kah pesisir mendidik dia supaya menjadi keras?tegas? ah lebih dari itu, kurasa, ia ingin mengajarkan kepada pemirsa arti kata ikhlas.
aku tak peduli, yang terpenting, ibu sederhana itu juga ada, bukan hanya reka. mungkinkah diikuti dengan laskar pelangi? suatu harap yang absurd kah jika ada seorang lintang dan mahar yang hidup di era seperti ini?
kembali lagi ke kata biasa, ibu mus benar-benar mendefinisikan kata itu. ia tidak cantik, tidak pula sangat cerdas, tidak mempunyai suami pejabat, atau anak-anak lucu yang gemar mondar-mandir di televisi. ia pun bukan keturunan raja-raja. hanya dari keluarga kelas menengah, yang melanjutkan pendidikan di Sekolah Keguruan di Pulau Bangka.
satu-satunya yang tidak biasa adalah dia keras kepala.
dia meninggalkan terang untuk memasuki gelap. pulau belitong yang penuh dengan jembel miskin disampangi, ia mendidik anak-anak orang-orang yang berprofesi dengan partikel awal buruh. entah itu buruh tani,buruh nelayan, buruh timah, buruh bangunan dan sebagainya dan sebagainya. tidak ada kata tuan atau majikan yang barangkali menghias di depan profesi para orang tua murid di Sekolah Muhammadiyah itu.
gajinya? cukup dengan beras beberapa kilo. ia pun harus bekerja kembali di malam hari menggagahi mesin jahit tua sekadar mengharap sedikit kais rejeki bagi anak-anaknya.
tapi ia tetap saja keras kepala. bukannya pergi ke sumatera untuk dapat hidup yang lebih baik, mendapat gaji yang lebih baik, dan tinggal di tempat yang lebih baik, ia masih berkeras tinggal dalam gelap.
ia berjudi. mungkin saja satu dari sepuluh muridnya menjadi 'seseorang' yang menerangi gelapnya pulau belitong nanti. atau kalaupun bukan mereka, anak-anak mereka barangkali, cucu-cucu mereka barangkali, suatu harap yang tak kunjung lepas. karena itu ia kusebut keras kepala
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar