Pagi yang sibuk di bawah atap jembatan layang pasar minggu. seorang lopper koran tengah asik menunggu para pelanggan sembari menceritakan headline beberapa surat kabar. Tuhan yang Maha adil pun mengutus seorang pengendara motor ibukota untuk memanggil namanya,"bang, ada Koran Tempo?" "ada" "berapa bang" "2.500" "biasanya 2000" "kalo 2000 ga dapat" "ya udah ga jadi deh". seloroh sang utusan sambil pergi berselonong ria mencari koran berbanderol lebih murah. Lopper yang tertinggal di belakang, diam, menatap keras dan pergi mencari utusan Tuhan lainnya yang mungkin saja mau membeli untuk harga yang sedikit lebih mahal.
Pagi itu bukanlah pagi yang biasa, terutama bagiku. maklum, jatahku untuk presentasi materi lumayan berat, laporan keuangan. Tahukah kawan? Walau berat, ada satu yang menarik dari materiku pagi ini, mudah dibicarakan tapi sulit dilakukan. Perkaranya lagi-lagi mengenai budaya. Alih-alih memecah alokasi anggaran keuangan sendiri, memisah uang pribadi dengan kas usaha saja sulit
Namun demikian, aku melangkah. Walau tidak ringan, aku optimis yang disertai sedikit kekhawatiran bahwa kelas hari ini akan lebih panas lagi dibandingkan dengan diskusi hari-hari yang lalu. Jangan-jangan, malah aku yang tidak bisa menjawab pertanyaan kawan-kawan.
Hmm, Cuma, tebakanku kali ini meleset. sekali lagi, akuntansi membuktikan diri sebagai jurus terampuh untuk membuat diam orang-orang, termasuk kelasku. Ruh diskusi disertai debat yang sudah menjadi adat di kelas kami mendadak pergi tanpa pesan. resume balance sheet yang kuukir di papan, luntur tanpa ada yang memperhatikan. Batinku berkata, "ah..lagi-lagi presentasi yang kurang jelas." Ujarku lirih.
Syukurlah, di tengah-tengah kejengahan, acungan tangan penyelamat dari seorang kawan memberi harapan. “ah, ada respons,”tuturku. Ia berkata lantang."Saya rasa langsung saja, apa yang bisa kita lakukan saat ini untuk bisa menghasilkan uang."tegas Azis, peserta dari Sibolga.
Dahiku mengerenyit. “kenapa bukan tanya soal laba rugi atau utang? Atau jangan-jangan.” Setan di sebelah kiri berbisik perlahan memberi imbuhan tambahan,"sesuatu yang buruk akan segera terjadi."lirihnya.
Usulan pun datang bertubi-tubi. dari yang paling abstrak hingga usul terkonkret. Mulai membuat CV, outbond sampai jualan botol minuman. Aku diam.
Maka, palu pun diketok. Kami semua harus turun ke lapangan jualan mencari uang. Aku tetap diam.
Memang, sudah hari ke delapan, kami para peserta Social Entrepreneur Leader (SEL) Dompet Dhuafa terkungkung dibalik tembok kelas yang suka berpindah. selama itu pula kami dijejali berbagai materi kewirausahaan dari motivasi hingga akuntansi. Maka, wajarlah kalau saatnya untuk beraplikasi.
Cuma, setan rupanya belum berhenti berbisik."hai abi, selamat. Hari ini kau akan menjadi sales. mampuslah bila mantan teman sekantormu, alumni sekolahmu, dan semua orang yang mengenalmu melihat engkau berjualan di pinggir jalan."ujarnya. hheh..aku menghela napas mencoba tenang sembari menimbang-nimbang. Dalam kegalauan, malaikat berjubah putih dengan wajah manisnya mengetuk-ketuk telinga kananku. suaranya tak kalah merdu."Bangunlah kau pemberani, hancurkan dinding sombongmu dan tataplah matahari."aku tetap diam tanpa keputusan.
Aku ingin menolak cuma terlampau lambat. Palu sudah diketok, keputusan telah dibuat. Pemimpin kami, Mbak Tatik pun mengeluarkan Surat Keputusan. Dua jam ke depan, kami akan berjualan popok bayi dan air mineral. Setan yang sejak tadi berbisik suaranya perlahan hilang. Rupanya, ia cukup tahu diri bahwa di negara demokrasi seperti Indonesia ini, voting menjadi kekuatan. Genggam tangannya yang sejak tadi menarik tangan kiriku pun lepas, kalah oleh 19 orang kawan-kawan lantang yang segera menarik tangan kananku untuk sesegera mungkin berpindah kutub.
Kontan, kuraih jaket kebanggaan, kugemblok tas hitam dan kutenteng barang dagangan. Niatku satu, belajar mencari uang.
seratus meter dari lokasi pelatihan : "pak aquanya pak, dua ribuan,"ujarku. sial. orang pertama yang kutawari sudah memegang botol minuman yang sudah berisi setengah. sembari menunjukkan botol kebanggaannya, sang bapak berujar,"sudah ada."
Orang kedua, orang ketiga, keempat, kelima hingga mencapai deret ukur yang ke tiga kutemui, kutawari, kurayu agar mau membeli satu dari lima botol air mineral tentengan. cuma jawabannya semakna walau kini sudah bertambah nada, "gak bang." Walau kecewa, setidaknya ada yang tidak membawa botol minuman. Setidaknya lagi, hasil risetku tadi membuktikan demikian.
beruntung, aku tidak sendiri. ada bang aziz sang pembuat masalah yang menemani. Tahukah kawan? di tengah kondisi seperti ini keberadaan seorang teman sangat berarti sebagai stimulus pembesar energi. Hasilnya, kata gagal pun menjadi lebih mudah untuk dilupakan.
Di tengah jalan, kami melakukan diskusi kilat yang berbunyi seperti ini,"bang bagaimana kalo kita ke pasar rebo" "oke, nanti dalam perjalanan pake bis, kita bisa jualan." aku bergumam, asik juga yah kalau diskusi tanpa debat kusir yang membuang banyak tenaga. Lebih efisien.
Waktu menunjukkan jam 10.00. aku bersyukur ,”setidaknya laku dua,”ujarku. kutemui bang azis dan rehat sejenak mengumpulkan tenaga. “ah abang sudah laku lima,”tukasku. Kami pergi menawari lagi khalayak yang lalu lalang yang tak sempat lagi kuhitung. Lupa sudah hitungan deret ukur yang sejak tadi kucoba ingat demi menghargai fibonacci.
Sesuai usul bang azis, aku mengubah strategi. Harga satu botol minuman aqua kubanting sampai Rp.1500. supaya lebih mudah, aku pun berkelakar, Rp.3000/2 deh bang.
Energi ku bangkit. Agar lebih dahsyat, kuingat-ingat apa kata pak sapardili dulu waktu hari kedua pelatihan. “anda mau melompat atau melangkah?” melompat jawabku semangat. Aku pemberani yang suka resiko, batinku.
Maka, satu persatu bis kunaiki, mobil-mobil kuhampiri, halte bis ku sambangi demi menghabiskan botol-botol aqua yang tersisa. Keringatku meleleh, suara mulai habis. Tapi langkahku tak mau berhenti. Aku yakin, entah pegawai bank, mantan teman sekantor, atau tetangga yang kebetulan lewat akan membeli, walau sekadar faktor kasihan. Bukankah harga aqua ku lebih murah dibanding bila mereka beli di warung? Bukankah Pasar Rebo adalah daerah yang sering kulewati? bukankah aku yakin?
Tapi hipotesaku gagal. Teoriku batal demi hukum. Entah sudah berapa gelengan kepala yang menyertai lima jari dan berbagai ekspresi menolak lainnya menampar mukaku.
Kok gak ada yang beli yah? Tanyaku. Aku pun rehat sejenak. Kini, orang lalu lalang kuhampiri kembali. Kutawari satu persatu dengan senyum teramah yang kumiliki, dengan harga terbaik yang bisa kuberikan, tentunya plus iming-iming permen sebagai bonus untuk para pembeli. Cuma, mereka rupanya satu bangsa dengan orang-orang dalam bis dan kendaraan tadi, bahasanya pun sudah pasti satu.”engga bang.”
Tigapuluh menit berlalu. Demi mengusahakan waktu tersisa untuk menawarkan barang, kami sepakat untuk berjalan. Di tengah perjalanan, aku melihat seorang loper koran yang sibuk menawari barang dagangannya. Memoriku kembali kepada kejadian di dua jam yang lalu. Jembatan layang Pasar Minggu. Gumamku pun satu. Ternyata, aku telah mendapat karma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar