Uang mulai dikenal manusia dengan berbagai bentuknya sebagai alat tukar dari zaman Mesir kuno 2000 SM-4000 SM lalu. Setelah mengalami berbagai macam percobaan, maka sang Kaisar Romawi kuno yang ketika itu memimpin dunia, Julius Caesar (46 SM) mulai mengampanyekan emas dan perak sebagai alat tukar perdagangan yang resmi. Ia menyebutnya dengan nama dinarium.
Dalam buku bertajuk Mengembalikan Kemakmuran Islam dengan Dinar dan Dirham ini, sang penulis, Muhaimin Iqbal menggambarkan perjalanan dinar dan dirham dari era romawi kuno, zaman rasulullah pada 7 M, Umar Bin Khattab yang mulai mencetak mata uang dinar dan dirham, zaman khalifah Abdul Malik pada tahun 642 M hingga akhir masa kekhalifahan di era Utsmani yang runtuh pada tahun 1924.
Selama masa itu, dinar dan dirham disebutkan mempunyai tsaman khalqi atau nilai hakiki yang sesuai dengan nilai intrinsiknya. Inilah yang membuat mata uang ini disebutkan sebagai hakim yang adil maka nilainya tetap stabil hingga mencapai 1400 tahun (dinar/emas) dan 1800 tahun (dirham/perak). Contoh sederhana adalah berdasarkan hadits riwayat Bukhari, harga seekor kambing ketika rasulullah hidup senilai 1 Dinar yang bila diakumulasikan saat ini adalah sekitar Rp.800.000 bandingkan dengan harga kambing saat ini yang kisarannya tidak jauh dari angka tersebut.
Tidak hanya itu, buku ini pun mengupas bagaimana lemahnya fiat money alias uang kertas yang saat ini dianut oleh masyarakat dunia. Pada awal kelahirannya, uang kertas saat ini sebenarnya adalah manifestasi dari bank notes yang masih menggunakan standar emas. Kemudian setelah great depression pada 1930-an, terjadi devaluasi mata uang uang USD terhadap emas sebanyak 75% yang tadinya 25 USD per Troy Ounce menjadi 35 USD per Troy Ounce. Maka, untuk menjaga stabilitas USD, AS mengadakan konferensi Bretton Woods yang menghasilkan USD sebagai mata uang internasional satu-satunya penjaga emas. Ini dengan kompensasi AS akan menjaga cadangan emasnya sesuai dengan USD yang dikeluarkan. Saat itu disepakati nilai 35 USD=1 Troy Ounce.
Cuma, memasuki tahun 1971 di AS terjadi apa yang disebut dengan Nixon Shock yaitu ketika cadangan emas AS menipis sehingga tidak mencapai 100% USD yang telah dikeluarkan. Maka, pada Desember 1971 disepakatilah Smithsonian agreement yang menyatakan dihapusnya pencadangan emas atas nilai yang dikeluarkan. Dari sinilah floating exchange rate bermula yang kita kenal dengan sebutan fiat money.
Tidak adanya pencadangan sebagai jaminan atas uang yang dikeluarkan membuat nilai uang menjadi semu. Terlebih karena uang kertas yang saat ini beredar tidak mempunyai nilai intrinsik yang sama dengan nominal yang tertera dilembarnya.
Bila berkaca pada sistem pencadangan yang ditetapkan oleh BI dengan sistem GWM atawa Giro Wajib Minimum hanya sebesar 5% dari total Dana Pihak Ke tiga (tabungan dan deposito), maka bank akan dengan leluasa mengeluarkan pinjaman (loan) kepada para debitur.
Nah, yang menjadi masalah adalah sudah jamak bahwa bank lebih suka mengeluarkan uangnya ke sektor finansial bukan riil. Karena imbal hasil yang didapatkan jauh lebih menguntungkan dan lebih cepat. Bayangkan bila bank menaruh uangnya kepada bank lain untuk mendapatkan bunga yang besar kemudian bank debitur tersebut menyisakan deposit uangnya sebesar 5% kemudian meminjamkan lagi ke bank selanjutnya.
Ketika itu terus terjadi, saat volume uang meningkat sementara faktor produksi terhambat karena kurangnya sokongan dana untuk sektor riil, maka inflasi akan terjadi. Nilai uang akan turun dan harga-harga membengkak. Walhasil, Rakyatlah yang akan menjadi semakin sengsara.
Lalu sebagai seorang muslim, bagaimana kita harus bersikap di tengah-tengah kungkungan sistem fiat money sekarang ini? Sulit memang untuk mengharapkan Pemerintah Indonesia untuk menetapkan dinar dan dirham sebagai mata uang resmi. Namun, patut diingat bahwa dinar dan dirham berharga bukan karena pengakuan pemerintah. Mata uang logam ini bernilai karena mempunyai nilai intrinsik yang melekat kepadanya. Oleh karenanya, dinar dan dirham sebenarnya dapat digunakan dengan barang berharga lain apa pun dan kapan pun yang kita mau. Jikalau tidak memungkinkan, karena pemahaman masyarakat yang masih terbatas, maka kita bisa menyimpan dinar dirham sebagai instrumen investasi.
Selain itu, dinar dirham dapat digunakan untuk perencanaan keuangan yang aman, misalnya untuk merencanakan pensiun, pendidikan anak dan sebagainya. Saat ini banyak jasa asuransi syariah yang memiliki produk dinar dan dirham untuk perencanaan masa depan.
Sebagai buku yang menjelaskan satu sempalan dari sistem moneter, buku ini tergolong mudah dimengerti. Bahasa yang dipakai pun renyah dan bertutur sehingga pembaca menjadi nyaman dibuatnya. Meski demikian, tidak berarti mengurangi kadar kelengkapan literatur penyokongnya. Selain terdapat nash-nash Alqur’an dan hadist, buku ini juga menampilkan beberapa karya ilmiah sekelas The Great Contraction, Economic Hit Man hingga Fiqh Zakat karya Yusuf Qardhawi.
Cuma ada beberapa cacat yang mungkin membuat pembaca mengernyitkan dahinya saat membaca buku ini. Semisal saat menuliskan prosentase pertumbuhan negatif nilai rupiah terhadap emas sebesar 84% dari Rp 26000 per gram ke Rp 161.000 per gram. sebesar 84%. Padahal jika kita mau berkalkulasi. Hasil tepatnya adalah 511,1% .
Ditambah lagi dengan hiperbolisme penulis saat menganalogikan bank yang meminjamkan uang ke bank lain dan seterusnya yang bisa menimbulkan multi interpretasi di benak pembaca. Padahal, akan sangat konyol jika bank menggunakan DPKnya hanya untuk meminjamkan ke satu atau beberapa bank karena bank mempunyai prinsip berbagi resiko agar resiko yang mungkin didapatkan sangat kecil seperti menaruh dana pada SUN, obligasi dan kredit bank pun tergolong besar di korporasi karena bunganya juga besar.
Terlepas dari itu semua, buku ini patut menjadi referensi kita di tengah melorotnya ekonomi dunia karena perbuatan jahat sektor finansial. Pun dengan wacana pelembagaan kembali mata uang dinar dan dinar, maka ukhuwah islamiyah antar negara islam akan semakin erat. Wallahu’alam.