Niat
Seorang paling depan, berdiri satu tubuh setelah barisan, bergumam, usholli fardhoshshubhi roq’atayni mustakbilalkiblati ada’an ima’man lillahita’ala.
Matanya sedikit memejam, tangannya baik kanan, baik kiri, diangkat berat, sembilan puluh derajat, kemudian dengan gontai, mulut mengucap, Allohuakbar.
Ucap pertama, ia sedang berniat. Meneguhkan kembali bahwa ‘saya niat sholat fardhu subuh, dua rakaat, menghadap kiblat, sebagai imam, karena Alloh ta’ala’.
Orang-orang belakang juga bergumam, sebagian sesuai, sebagian tidak. Ada juga yang hanya menggerakkan tangan, membisu, lalu pelan membisik takbir, Allohuakbar.
Terdapat polemik dalam mendefinisikan niat. Menurut sebagian orang pintar, niat butuh pengendapan, butuh pengkristalan. Maka, ia harus diucapkan. ‘aku niat mau makan siang, dengan piring plastik, sendok stanlees, nasi uduk, lele goreng dan emping. Sendirian!’ jika sudah menjadi padat, niat tidak akan mudah lagi berubah bentuk. Mungkin saja aku niat mau makan siang dengan nasi uduk akan berubah menjadi aku niat makan roti lapis karena tergiur oleh godaan aroma sosis sapi plus saos tomat ketika sampai di pasar.
Orang pintar yang lain berujar; “niat tidak harus diucapkan, karena dia adalah hasil produksi hati. Biarkan dia tumbuh di wilayah itu. Hanya jiwa dan Empunya yang tahu, lain tidak.” jika niat sampai hati keluar bersuara, maka ia akan terkena debu, dikomentari macam-macam, dari puja hingga puji, dari hardik hingga hina. Maka, diamlah, kelu.
Rasul yang bijak pernah berkisah. Ia bilang, bahwa ada beberapa tipikal orang yang mendapat giliran antrian pertama setelah hari akhir kelak. Pertama, syahid. Alloh yang mulia, setelah memperlihatkan kenikmatan yang akan dia terima, akan bertanya,”Apa amalanmu ketika kau mati didunia?” “Aku adalah orang yang berjuang dalam agama Mu ya Alloh, maka dari itu, aku gugur setelah berperang demi mengagungkan nama Mu”, “kau dusta, kau berperang, hanya agar disebut sebagai pahlawan, maka pergilah ke neraka”. Nomor antrian selanjutnya, ulama. Alloh menanyakan kembali hal yang sama, “Apa amalanmu ketika mati di dunia?” ”aku telah mempelajari ilmu islam, mengajarkannya kepada orang lain, lalu membaca Alqur’an, karena Mu ya Alloh” “kau dusta, engkau belajar ilmu islam supaya kau dikatakan orang alim dan membaca alqur’an supaya dikatakan sebagai qari, maka pergilah ke neraka”. Antrian terakhir adalah seorang dermawan. “Apa amalan mu di dunia?” “aku selalu bersedakah karena Mu ya Alloh”, “engkau dusta, yang benar adalah kau bersedakah agar kau dikatakan sebagai dermawan, pergilah kau ke neraka”.
Dalam hadist yang lain, niat adalah faktor penentu amal. Jika niat rusak, maka amal pun rusak. Bunyinya “sesungguhnya amal bergantung dari niat”.
Berdasarkan hakekat, niat adalah tujuan. Remeh temeh itu harus segera dilindas, disingkirkan. Karena menjadi kata kunci penghubung: tiap-tiap langkah kaki, laku tangan, kata, mata.
Maka Biarlah Yang Tunggal tinggal, menjadi fokus, pemandu dalam segala perbuatan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar