Senin, 03 Desember 2007

wirausaha

Hidup Bersih dan Sehat ala wiraswasta

Oleh: A. Syalaby Ichsan

Bandung sekali lagi gagal melepas statusnya sebagai kota terkotor. Piala penghargaan dari kantor menteri negara lingkungan hidup pun kembali disematkan. Bukan pertama memang, seperti yang terjadi pada 2006 silam, peringkatnya kini melorot ke posisi tiga, di bawah Kota Bekasi dan Kota Tangerang. Tapi tetap dengan kategori sama, terkotor!

Rachmat Witoelar menyebutkan,Kota Bandung mendapat nilai 64,69. Sementara itu, Kota Bekasi yang menduduki posisi pertama Kota metropolitan terkotor mendapat nilai 63,78 sedangkan Kota Tangerang di posisi kedua meraih nilai 64,44. Standar nilai adalah 30–50 yang berarti sangat jelek, 50–60 yang berarti jelek, 60–70 yang berarti cukup, 71–85 yang berarti baik,dan 85–90 yang berarti sangat baik.

Rachmat melanjutkan, secara keseluruhan, ada 84 daerah yang tahun ini mendapat Anugerah Adipura.Dari Jabar,ada tiga daerah yang meraihnya, yakni Kab Cianjur (Kota sedang), Kab Garut (kota kecil), dan Kab Indramayu (kota kecil). Sementara untuk piagam adipura, terdapat 10 daerah yang berhak menerimanya, dan Jawa Barat hanya terwakilkan oleh kabupaten cirebon untuk kategori kota kecil. Dalam pemantauan ini,Tim dari Kementerian Lingkungan Hidup melibatkan unsur-unsur masyarakat dari perguruan tinggi, LSM, media massa, dan pemda,” jelas Rahmat. Agar mendapatkan informasi akurat,pemantauan terhadap berbagai daerah pun dilakukan tiga kali dalam setahun.

Sekadar mengulas kembali, tahun lalu, Kota Bandung di tengah dalam deraan ”darurat sampah”, juga mendapat predikat kota metropolitan terkotor. Pada Malam Anugerah Lingkungan Adipura 2006 di Jakarta, 12 Juni 2006, Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan sempat menyindir dan menertawakan Kota Kembang. Presiden Susilo Bambang Yudoyono juga turun tangan. Ia meminta Pemkot Bandung dan Pemprov Jabar menangani masalah sampah dengan sungguh-sungguh, terencana, dan terkendali.

Sautu aib tidak saja bagi masyarakat Bandung, tetapi juga bagi masyarakat Jawa Barat. Mengapa? Karena Bandung dengan statusnya sebagai ibu kota Jawa Barat dan Jawa Barat adalah satu daerah yang dielu-elu sebagai negeri parahyangan, dimana keelokan alam menjadi perbincangan, dimana udara segar khas pegunungan masih dengan mudah dihirup, dimana merenah[1] menjadi nilai-nilai yang dahulu dipegang erat leluhur.

Warga pun berkambing hitam. Tajuk sebagai kota terkotor dirasa berlebihan, bukan kami yang harus disalahkan’ teriak warga. Kondisi menuntut demikian, pemerintahlah yang harus bertanggungjawab. Siapa penyebab luluhnya TPA Leuwi gajah? Bukankah pemerintah!

Cukup dengan kota terkotor, sayang sekali tidak. Tingkat kesehatan warga pun belum memuaskan. Kita dapat melihatnya dengan membagi rata-rata nilai Indeks Pembangunan Manusia[2] Jawa Barat.

Meski mengalami kenaikan, dari 67,67 pada tahun 2003 menjadi 70,3 pada tahun 2006[3] dengan angka harapan hidup meningkat dari 64,94 tahun menjadi 67,8 tahun, tetapi kualitas IPM jawa barat masih berada di bawah standar yang ditetapkan UNDP (United Nation Development Program), yang mencantumkan angka harapan hidup maksimum sebesar 85 dan minimum sebesar 25.

Boleh jadi kita mafhum, sebab, seperti diketahui, Program pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) tahun 2004 memeringkatkan Indonesia pada urutan ke-111 dari 175 negara. Jadi tragedi ini terjadi tidak hanya pada tingkat lokal, tetapi nasional. Tetapi kita juga wajib merenung karena angka IPM nasional diambil dari rata-rata IPM di seluruh propinsi di Indonesia. Jika angka harapan hidup kita tidak baik, maka itu sama saja dengan menyumbang noda bagi IPM nasional.

Bersih adalah pangkal sehat, adagium yang selalu kita dengar sedari kecil, tatkala masih berseragam putih dan merah, ternyata tinggal peribahasa. Tak laku dalam adat warga. Jelas saja jika tingkat harapan hidup kita masih rendah karena kebersihan yang menjadi syarat terjadinya kesehatan, kita langgar. Sampah masih menumpuk, banjir tahunan kerap terjadi, polusi semakin meningkat dan sebagainya dan sebagainya. Warga yang enggan hidup disiplin diperparah dengan pemerintahnya yang tidak cepat, tidak tegas. Pemerintah akan bergerak manakala ada perintah dari pusat – ingat ketika SBY mengingatkan pemkot Bandung tentang kotornya Kota Bandung dan sekitarnya – dan tentu saja, jika ada penghargaan dan disiarkan ke seluruh penjuru daerah.

Mengenai yang terakhir, ada keluhan seorang blogger dari Bandung. namanya Nurul Diana Irawati. Dia menceritakan tentang kelurahannya yang mendapat durian runtuh menjadi salah satu kandidat kelurahan terbersih se kota madya. Padahal menurutnya, kebersihan di kelurahan dia baru saja disulap ketika diadakannya lomba kebersihan se-kotamadya tersebut, ditambah dengan jamuan disana-sini yang diperuntukkan pejabat kotamadya yang menilai, jadilah kelurahan dia sebagai juara 1 tingkat kotamadya untuk kategori kebersihan dan kini, diajukan ke tingkat propinsi.

Sebenarnya apa yang disebut dengan bersih dan sehat? mengapa Bandung sebagai suatu daerah dalam negara berkembang seperti Indonesia begitu sukar untuk membudayakan kedua kata itu. Apa karena PAD dan PDB yang kecil? Tingkat pertumbuhan ekonomi kita yang masih berkisar 6%? Atau karena memang status negara berkembang ini yang membedakannya dari negara maju sehingga rakyat menjadikan nilai-nilai ketidakbersihan dan ketidaksehatan sebagai nilai given yang cuma harus diratapi, karena ini takdir toh ?

Berbanding sejenak dengan negara maju, Jepang misalnya. Sekolah-sekolah di Jepang dikenal sebagai sekolah bersih dan terawat. Sudah menjadi budaya jika siswa-siswanya membuang sampah di tempat sampah yang dilapisi dengan kantong plastik besar dengan warna berbeda, sesuai dengan jenisnya, terurai atau tidak terurai. kemudian sampah tadi dipindahkan oleh siswa petugas piket untuk ditempatkan di tong sampah ukuran besar untuk kemudian dijemput oleh mobil pengangkut sampah pada pagi harinya. Tidak ada petugas khusus untuk menangani urusan kebersihan sekolah, seluruhnya dikerjakan oleh siswa.
tidak hanya itu, untuk mempertahankan sekolah tetap bersih dan sehat sepanjang hari, sekolah-sekolah di Jepang menyediakan sandal atau sepatu karet khusus untuk dipakai di ruangan kelas, laboratorium, ruang olahraga (ruang moving class), ruang kesenian (ruang moving class), dan berbagai ruangan penting lainnya. Sepatu dari rumah saat masuk kelas dan laboratorium ditanggal dan disimpan di loker sepatu di depan kelas. Tujuannya demi perawatan peralatan canggih yang terpasang paten di kelas dan laboratorium, juga menjaga kesehatan para siswa dan guru.

Pengembangan budaya hidup yang melibatkan seluruh warga sekolah dan keteladanan para guru dan pimpinan sekolah adalah kunci keberhasilan membudayakan budaya hidup bersih. Di Jepang, peran pimpinan sekolah dan guru-guru bukan hanya sebatas kata-kata tetapi yang paling penting dibarengi dengan tindakan. Misalnya, memberi contoh memungut sampah di depan mata untuk mengajak para siswa melakukan hal yang sama.

Sulitkah membangun budaya bersih seperti di Jepang? Bisakah diterapkan di Indonesia? Teori sebagai berikut mungkin dapat menjadi bahan pertimbangan pembaca. Menurut Andi Agus Hartono, ada dua faktor yang menentukan sehat atau tidaknya suatu komunitas manusia. Faktor ekstrinsik, lainnya intrinsik. Faktor intrinsik juga mempunyai tiga turunan. Yang pertama adalah "mentalitas motivasi". Hal ini mengandung arti bahwa sifat bersih dan sehat manusia harus dilahirkan dan diajarkan atau dimotivasikan. Pendidikan ini harus dimulai pada komunitas yang kecil (keluarga) yang merupakan bagian dari suatu komunitas yang jauh lebih besar (negara). Kalau dari kecil di keluarga itu sudah diajarkan bagaimana caranya berhidup sehat, maka hal ini akan memotivasi individu untuk hidup bersih dan sehat di hari depannya kemudian berlanjut ke generasi berikutnya. Lalu bagaimana keadaan fisik si individu itu sendiri, yaitu apakah dia mempunyai kapasitas untuk hidup sehat tanpa bantuan orang lain. Manusia dengan cacat fisik tentu juga terbatas kadar kebersihannya, jika harus hidup tanpa bantuan orang lain.

Bagaimana dengan faktor ketiga? Menurut Andi, faktor yang belakangan bisa disebabkan oleh keberadaan sense of belonging. Untuk orang-orang di negara berkembang, sense of belonging ini berakhir dengan apa yang kita sebut sense of respecting. Jadi terdapat gradasi antara dua pengertian ini di dalam alam pengertian manusia negara berkembang. Sense of belonging berjalan dulu kemudian menyusul sense of respecting. Tidak bisa kita menghargai dulu lalu timbul rasa memiliki. Dengan memiliki "sesuatu", maka kita akan menghargai "sesuatu" itu. Sebagai misal, dengan mempunyai buku, saya akan menghargai buku itu dan akan merawatnya.

Tingkat gradasi ini ternyata relatif tidak terdapat dalam alam pemikiran orang yang sudah maju. Sense of belonging dan sense of respecting selalu seimbang dan setara. Saya bisa menghargai suatu barang walaupun saya tidak mempunyai barang itu. Kalimat ini bisa juga dibalik tanpa merubah pengertiannya sedikitpun, yaitu walaupun saya tidak mempunyai barang itu, saya menghargai barang itu. Walaupun jalan raya itu bukan milik saya, saya bisa untuk tidak membuang sampah sembarangan, saya bisa untuk menjaga kebersihannya. Walaupun tram itu bukan milik saya, saya bisa untuk tidak menempelkan permen karet di bawah jok tempat duduknya, karena saya senang melihat tram itu tetap bersih. Disini kita melihat bahwa manusia-manusia di negara maju seperti di negara-negara Eropa, Amerika, Jepang dan bahkan di Singapura, relatif lebih bisa menghargai arti bersih dan sehat.

Faktor ekstrinsik dipengaruhi oleh keadaan ekonomi karena dari yang namanya kereta api, rumah sampai rumah sakit, semuanya memerlukan biaya perawatan yang optimal. Perawatan, dari pegawainya sampai peralatannya, tentu membutuhkan biaya. Sehat juga harus didukung oleh obat-obatan dan peralatan yang canggih seperti misalnya peralatan kedokteran (dari stetoskop, alat-alat bedah, CT-scan sampai MRI : Magnetic Reso-nance Imaging).

Untuk pertanyaan yang kedua, jawabannya sebenarnya sudah sedikit banyak disinggung di atas. Kalau mau hidup sehat, masing-masing harus mau merubah mentalitas, motivasi dan menambah sedikit apa yang disebut di atas sebagai sense of belonging/respecting. Menurut Andi, ini semua adalah faktor yang utama. Kalau semua ini sudah jalan, pada saatnya nanti, semua itu akan bisa ditunjang oleh faktor ekonomi yang lebih memadai. Ini artinya basis kita sudah punya, tanah yang kuat kita sudah punya. Baru setelah itu kita bisa membangun rumah yang kokoh di atas tanah itu. Bukan sebaliknya.

Teori yang dikatakan oleh mas Andi sebenarnya telah terekam kuat dalam program karakter manusia yang dinamakan wirausaha. Semangat entrepreneur yang menjadi soft knowledge para pendukung ekonomi mikro ini menandung nilai-nilai universal yang tidak hanya membuat individu berprestasi, tetapi juga masyarakat, bahkan negara. Coba simak apa kata mclelland, seorang ilmuwan penganjur modernisasi ketika tahun 50-an lalu Mclelland menyarankan kepada negara-negara dunia ke-tiga untuk mengamanahi kaum wiraswastawan domestik sebagai kelompok masyarakat yang paling bertanggung jawab terhadap proses pembaharuan negara.

Mengapa ia menyapa para wiraswasta, bukan politikus atau penasehat ahli dari negara maju sebagai agent of change untuk pencapaian kemajuan di negara-negara baru merdeka? Mclelland menjelaskan bahwa hadirnya wiraswastawan di negara berkembang bukan hanya sekadar mencari laba, tetapi lebih jauh, karakter wiraswastawan yang mempunyai keinginan kuat untuk mencapai prestasi gemilang yang dikerjakannya melalui penampilan kerja yang baik, dengan selalu berpikir dan berusaha untuk menemukan cara-cara baru untuk memperbaiki kualitas kerja yang dicapainya.

Definisi wiraswasta dijelaskan lebih meng-Indonesia oleh Emma Satriaty yang diambil dari tiga kata dalam bahasa sansekerta. Wira, swa dan sta. Wira berarti berjiwa unggul, berbudi luhur, arif dan kesatria. Sementara swa adalah sendiri dan sta berarti berdiri. Jadilah swasta melahirkan konsep ‘berdikari’ (berdiri di bawah kaki sendiri). Semangat kepahlawanan yang ada dalam konsep wira dan kemandirian yang ada dalam konsep swasta menjadi dua padan kata yang serasi terutama dalam makna. Dengan konsep ini, wiraswasta dituntut untuk seimbang antara kemampuan ketrampilan (skill) bertahan mandiri, tidak menjadi beban dalam hidup dengan ketrampilan dan manajemen dan kemampuan moral yang akan menuntut dirinya untuk menjadi penolong bagi masyarakat, membuka lapangan pekerjaan dan menjadi panutan.

Akan menarik jika kita menarik daerah irisan antara apa yang dikatakan oleh Andi, mclelland dan Emma. Dua faktor yang disebutkan andi – terutama faktor pertama (intern) untuk membentuk sebuah komunitas manusia yang bersih dan sehat memerlukan suatu pionir manusia pengubah, yang mempunyai motivasi dan mentalitas yang unggul. Karuan saja, terlebih di negeri seperti Indonesia dimana faktor tersebut menjadi permasalahan yang membuat cacat karakter bangsa. Seperti yang dikeluhkan wartawan budayawan, almarhum Muchtar Lubis dengan streotipenya dalam ‘Manusia Indonesia’. Pada cirinya yang ke-enam, Muchtar mengatakan bahwa manusia Indonesia berkarakter lemah, tidak kuat mempertahankan pendiriannya, untuk survive, manusia Indonesia akan dengan mudah mengubah prinsip yang diyakininya.

Maka diperlukan agent of change yang efektif dan efisien untuk mengubah kultur manusia Indonesia. Dan orang itu, seperti yang dikatakan oleh mclelland adalah wirausaha. Semangat wirausaha disini, atau wiraswasta yang didefinisikan oleh Emma sebagai pahlawan yang mandiri, menjadi pendobrak dalam kultur ketidakbersihan dan ketidaksehatan masyarakat yang mapan. Motivasi wiraswasta adalah motivasi yang telah teruji, bukan motivasi ‘anget-anget tahi ayam’ yang hanya terasa panas sebentar lalu kemudian adem dengan sendirinya. Buktinya, dengan ketrampilan yang dimiliki, ia mampu menghidupi dirinya sendiri tanpa sudi menjadi beban orang lain.

Kelebihan lain, wiraswasta terkenal dengan budaya inovasi. Jika kita lihat sekilas apa yang tadi dikatakan oleh mclelland, wiraswasta selalu mempunyai cara-cara baru untuk mewujudkan tujuannya. ketrampilan ini sangat bermanfaat untuk menarik perhatian individu lain untuk turut serta berpola hidup bersih dan sehat. Pola konservatif yang sudah usang seperti penyuluhan dan penataran akan diubah misalnya dengan tong sampah berwarna atau hari susu se kecamatan.

Terpenting, Ia punya motivasi lebih untuk mengubah masyarakat dengan nilai kepahlawanan yang dimilikinya. Sudah bukan rahasia jika selama krisis moneter 14 tahun lalu, para pelaku ekonomi mikrolah pahlawan yang berhasil bertahan di tengah terjangan badai. Siapa lagi mereka jika bukan para wiraswasta. Mereka mampu membuka lapangan pekerjaan dalam komunitasnya. Penganggur-penganggur entah intelektual atau non, menjadi terselamatkan berkat adanya bengkel sepeda pak haji misalnya, atau warung nasi goreng bu minah.

Memang, bangsa kita masih harus belajar giat untuk mengasah mental wiraswasta. Faktanya, budaya entrepreneur di negeri kita masih sangat rendah. Wiraswastawan bisa dibilang sebagai manusia langka. Rendahnya minat bangsa dalam menjalani profesi yang penuh dengan resiko ini dikatakan Pengusaha properti, Ciputra setelah mendapatkan penghargaan Ernst and Young of The Year (EOY). Wiraswastawan keturunan cina ini mengatakan setiap tahun kita melahirkan 750.000 lebih sarjana manganggur, setiap tahun sekolah hanya menciptakan pengagguran intelektual, sementara jumlah wirausaha hanya ada 0,008% dari penduduk Indonesia. (Kompas,29 November 2007)

Kita juga dapat dengan gamblang melihat betapa masyarakat masih memilih untuk ‘menjadi karyawan’ dibanding menjadi pengusaha. Menurut laporan Dinas Tenaga Kerja, 42.275 penduduk tercatat sebagai Pencari Kerja tahun 2004 meningkat menjadi 267,71% dari sebelumnya. Padahal – masih berasal dari sumber yang sama – lowongan yang tersedia sebanyak 2.218 dan jumlah penempatan hanya 2.211 orang.

Namun sekali lagi, karena budaya wiraswasta adalah budaya yang mengandung nilai-nilai universal dan membawa asas inklusifitas yang kental, maka manusia Indonesia juga dapat mempelajarinya. Angka 0,008% menjadi bukti bahwa masih ada segelintir anak Indonesia yang mampu untuk menjadi wiraswasta.

Bukan menjadi perkara apakah anda memilih sebagai pengusaha atau pekerja, yang terpenting adalah nilai-nilai luhur yang ada dalam wiraswasta dapat diterapkan dalam kehidupan anda. Bersih dan sehat, termasuk diantaranya.



Tidak ada komentar: