Jumat, 01 Februari 2008
niat
Seorang paling depan, berdiri satu tubuh setelah barisan, bergumam, usholli fardhoshshubhi roq’atayni mustakbilalkiblati ada’an ima’man lillahita’ala.
Matanya sedikit memejam, tangannya baik kanan, baik kiri, diangkat berat, sembilan puluh derajat, kemudian dengan gontai, mulut mengucap, Allohuakbar.
Ucap pertama, ia sedang berniat. Meneguhkan kembali bahwa ‘saya niat sholat fardhu subuh, dua rakaat, menghadap kiblat, sebagai imam, karena Alloh ta’ala’.
Orang-orang belakang juga bergumam, sebagian sesuai, sebagian tidak. Ada juga yang hanya menggerakkan tangan, membisu, lalu pelan membisik takbir, Allohuakbar.
Terdapat polemik dalam mendefinisikan niat. Menurut sebagian orang pintar, niat butuh pengendapan, butuh pengkristalan. Maka, ia harus diucapkan. ‘aku niat mau makan siang, dengan piring plastik, sendok stanlees, nasi uduk, lele goreng dan emping. Sendirian!’ jika sudah menjadi padat, niat tidak akan mudah lagi berubah bentuk. Mungkin saja aku niat mau makan siang dengan nasi uduk akan berubah menjadi aku niat makan roti lapis karena tergiur oleh godaan aroma sosis sapi plus saos tomat ketika sampai di pasar.
Orang pintar yang lain berujar; “niat tidak harus diucapkan, karena dia adalah hasil produksi hati. Biarkan dia tumbuh di wilayah itu. Hanya jiwa dan Empunya yang tahu, lain tidak.” jika niat sampai hati keluar bersuara, maka ia akan terkena debu, dikomentari macam-macam, dari puja hingga puji, dari hardik hingga hina. Maka, diamlah, kelu.
Rasul yang bijak pernah berkisah. Ia bilang, bahwa ada beberapa tipikal orang yang mendapat giliran antrian pertama setelah hari akhir kelak. Pertama, syahid. Alloh yang mulia, setelah memperlihatkan kenikmatan yang akan dia terima, akan bertanya,”Apa amalanmu ketika kau mati didunia?” “Aku adalah orang yang berjuang dalam agama Mu ya Alloh, maka dari itu, aku gugur setelah berperang demi mengagungkan nama Mu”, “kau dusta, kau berperang, hanya agar disebut sebagai pahlawan, maka pergilah ke neraka”. Nomor antrian selanjutnya, ulama. Alloh menanyakan kembali hal yang sama, “Apa amalanmu ketika mati di dunia?” ”aku telah mempelajari ilmu islam, mengajarkannya kepada orang lain, lalu membaca Alqur’an, karena Mu ya Alloh” “kau dusta, engkau belajar ilmu islam supaya kau dikatakan orang alim dan membaca alqur’an supaya dikatakan sebagai qari, maka pergilah ke neraka”. Antrian terakhir adalah seorang dermawan. “Apa amalan mu di dunia?” “aku selalu bersedakah karena Mu ya Alloh”, “engkau dusta, yang benar adalah kau bersedakah agar kau dikatakan sebagai dermawan, pergilah kau ke neraka”.
Dalam hadist yang lain, niat adalah faktor penentu amal. Jika niat rusak, maka amal pun rusak. Bunyinya “sesungguhnya amal bergantung dari niat”.
Berdasarkan hakekat, niat adalah tujuan. Remeh temeh itu harus segera dilindas, disingkirkan. Karena menjadi kata kunci penghubung: tiap-tiap langkah kaki, laku tangan, kata, mata.
Maka Biarlah Yang Tunggal tinggal, menjadi fokus, pemandu dalam segala perbuatan.
setia
Cerita itu terus menggelayut dalam otakku. Syahdan, ada seorang ksatria dari negeri antar berantah tengah di suatu belahan bumi, dilanda cinta. Ia jatuh hati kepada seorang puteri, dari kerajaan bidadari. Tapi sayang, cintanya tidak bertepuk. Kerajaan bidadari beralamat di ujung langit, dekat bintang, disamping rembulan, dilalui komet dan meteor. Sementara di bumi, sang ksatria hanya dapat menengadah dalam harapnya. “Kapan aku dapat berjumpa dengan puteri?”. Di tengah renung, ksatria melihat burung gereja, dan seketika mendapat ide. “hai burung gereja, ajak aku terbang”, ujarnya. Ia pun terbang, sedikit ke atas bumi, sampai di pucuk pohon tertinggi. Tapi sayang, sang puteri masih jauh dari jangkauan. Sepintas kemudian, ia melihat elang. Ia pun menjangkaunya dan kembali menjadi penumpang. Elang terbang tinggi, tapi tidak kuat untuk sampai ke kerajaan bidadari, ia hanya sanggup hinggap ke gunung. Ksatria kembali sedih, tidak tahu kepada siapa harus minta tolong. “Aku harus sampai menemui puteri”, tekadnya. Di puncak gunung, ia melihat seberkas sinar, terbang dan jatuh di hadapan. “siapa kau?” tanya ksatria. “Aku adalah bintang jatuh yang pergi ke bumi untuk menolong engkau ksatria, aku akan membawamu ke hadapan puteri”, kata sang bintang.
Ksatria sumringah, tanpa pikir panjang, ia langsung hinggap ke belakang punggung bintang dan melesat pergi ke atas, meninggalkan bumi. Di tengah perjalanan, bintang berpesan.”ksatria, karena aku tidak tahu dan tidak dapat melihat mana puteri pujaanmu, juga karena kecepatanku yang tinggi, maka setelah melihatnya, kau harus memberi tanda, agar aku dapat melepas kau untuk menjangkaunya.” Ksatria mengangguk. sesampainya mereka di kerajaan bidadari, sang ksatria memperhatikan lekat-lekat, dimana puteri pujaan. Ia pun memilah, satu, satu dan akhirnya, seorang puteri berpakaian anggun, merona merah, tampak benar sedang menunggu jemputan dari seseorang. Ksatria kontan menunjuk, ia memberi tanda. Sang bintang tumpangan pun melirik pelan. Akan tetapi, di luar dugaan, alih mengantarkan ksatria untuk sampai ke pelukan sang puteri pujaan, sang bintang malah menjatuhkan ksatria kembali ke arah bumi. Bintang tersenyum dan menjemput puteri kerajaan bidadari ke dalam pangkuan.
Penduduk negeri antah berantah, mencari kabar ksatria. Mereka bingung harus mencari kemana. Tidak ada kabar, tidak ada pesan, tidak ada berita. Bahkan mayat nya pun tidak pernah diketemukan.
Ksatria pedih. Ia mati dalam hidup. Kehilangan gairah, kehilangan darah.
Ksatria terus menunggu. Ia kerap berdiri di puncak pohon tertinggi, menemui elang, dan berharap ada bintang. Namun yang terakhir ini, tidak pernah muncul lagi ke hadapan.
Disadur dari “Dee (Supernova: ksatria, puteri dan bintang jatuh)”.